Rabu, 13 Desember 2017

Jabatan Kependetaan dalam Gereja HKBP dan Implikasinya dalam Kehidupan Jemaat


I.                   Pendahuluan
         Pada mulanya warga HKBP relatif mudah mengidentifikasi sosok pelayan gereja sebagai pemimpin dan tokoh gereja yang sangat dihormati. Namun setelah tahun 70-an, lambat-laun warga HKBP semakin sulit mengidentifikasi pelayan gereja sebagai tokoh dan pemimpin rohani. Malahan, dua daluarsa terakhir, citra pelayan mulai menurun. Para pelayan gereja mungkin piawai dalam menakut-nakuti warga jemaat dengan ancaman neraka, dosa, dsb. Namun, warga jemaat menyaksikan sendiri perilaku sehari-hari sebagian pelayan gereja sangat bertolak belakang dengan isi khotbah-khotbahnya.
         Mungkin pentahbisan para pelayan gereja masih akan terus berlangsung sebagai tradisi birokratis, guna memenuhi kebutuhan tenaga “pelayan jemaat’ yang secara kuantitatif sangat cepat berkembang. Namun, pemahaman dan penghayatan akan makna pentahbisan tersebut terasa semakin kabur dan hambar didesak oleh ambisi jabatan, kuasa, dan roh materialisme. Untuk itulah penyaji memilih judul ini dengan tujuan agar para pelayan gereja khususnya pendeta menyadari dan kembali kepada tugas panggilannya sebagai penyambung lidah Allah. Untuk mempermudah pembahasan sajian ini, maka penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut.
II.                Terminology
Istilah pendeta berakar dari bahasa sansekerta, yaitu “pandit’ yang artinya alim, yang berilmu, ahli dalam bidang agama, filsafat, akademis, dan keterampilan. Dalam masyarakat, pandit biasanya memiliki kedudukan yang spesifik sebagai tokoh utama pemimpin masyarakat maupun agama.[1]
Oleh karena itu pendeta merupakan satu jabatan gerejawi. Dalam HKBP jabatan gerejawi disebut dengan tohonan. Istilah kata “tohonan” berasal dari bahasa batak kuno yang berati orang yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang-bidang yang dibutuhkan masnyarakat misalnya: kepala suku yang sekaligus menjadi panglima dan pemimpin agama (datu-imam)[2]. Dengan demikian, jabatan pendeta merupakan suatu jabatan gerejawi yang diterima bukan karena kebaikan dan prestasi melainkan suatu jabatan gerejawi yang diterima bukan karena kebaikan dan prestasi melainkan karena anugrah Allah kepada orang-orang yang dipanggil menjadi alat Allah untuk memberitakan iman dan menyampaikan keselamatan bagi warga jemaat yang dilayaninya dan juga  bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus.

III.             Tinjauan Historis jabatan kependetaan
3.1 Prespektif Alkitab
Secara eksplisit dalam Alkitab belum  ada jabatan pendeta, karena pada waktu itu semua orang percaya (bangsa Israel) memiliki pertanggungjawaban  bersama kepada Allah. Sebab hubungan mereka dengan Allah bercirikan hikmat dan cinta kasih yang langsung[3]. Namun ada jabatan-jabatan dalam Alkitab yang merupakan cikal bakal jabatan kepandetaan.
Dalam Perjanjian Lama yang menjadi cikal bakal jabatan kependetaan adalah jabatan imam (kel. 29:1-37). Imam merupakan jabatan yang terkait kepada keanggotaannya dan bertugas sebagai pengantara antara Allah dengan umat-Nya di dalam fungsi pengajaran dan antara umat dengan Allah dalam fungsi ibadah[4]. Dengan demikian kedudukan imam dalam Perjanjian Lama adalah suatu kedudukan yang sangat diakui dan dihormati, karena melalui imamlah juga pemimpin Negara (raja) mendapat petunjuk dari Allah tentang apa yang harus dilakukan dalam pemimpin bangsanya menuju kemakmuran. Untuk itu, dalam Perjanjian Lama imam diakui sebagai pemimpin yang dipanggil dan dipilih langsung oleh Allah[5].
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi cikal bakal jabatan kependetaan dalam jabatan penetua (Kis. 14:23; Titus 1:5). Penatua berfungsi melayani sesuai dengan pesan Kristus, memberikan petunjuk-petunjuk, menerangkan isi dari firman Allah dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan mengutus pelayan di gereja[6]. Dengan demikian berdasarkan tugas-tugasnya jabatan penetua adalah jabatan yang sentral dalam jemaat mula-mula, dan jabatan ini juga merupakan jabatan yang sangat dihormati. Hal ini terlihat dari syarat-syarat yang ditetapkan untuk menjadi seorang penetua sangatlah ketat.
3.2 Sebelum Reformasi
Pada masa sebelum reformasi abad (abad V) pelayan yang ada dalam gereja disebut sebagai:
  1. Uskup
Uskup bertugas sebagai penilik, pengawas keuangan dan memimpin dalam kebaktian-kebaktian. Oleh karena itu unutk menjadi seorang uskup haruslah seorang yang berfikir murni, dapat memimpin dan mampu dekat dengan siapapun yang dipimpinnya, mengutamakan kepentingan pengikutnya dan mampu untuk melihat bahwa kesejahteraan itu adalah bagian dari kebajikan[7]
  1. Presbiter (penatua)
Presbiter sering di sebut dengan imam, yang diartikan sebagai pengantara antara jemaat dengan Allah. Presbiter bertugas sebagai pengembala dan pemimpin kebaktian. Oleh karena itu untuk menjadi presbiter haruslah seorang yang tidak bercacat, mempunyai hanya satu istri, bijaksana dan dapat menguasai diri segala macam godaan.
  1. Diaken
Diaken adalah jabatan gerejawi yang tugasnya memberitakan Injil dan melayani orang-orang yang hidup di lingkungan kemiskinan, orang-orang yang dikucilkan, dan orang-orang yang ditelantarkan. Oleh karena itu untk menjadi seorang diaken haruslah seorang yang terhormat,jujur, tidak bercacat, mampu memelihara rahasia iman, dan memiliki hati nurani yang suci (bdn. I Tim. 3:2-7; Tit. 1:7).

3.3 Sesudah Reformasi
Sesudah reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luter, terdapat banyak perubahan di dalam corak pelayan di gereja. Kepemimpinan gereja beralih dari uskup dan pastor kepada pemerintah dan pelayanan dipegang oleh domine (pendeta) yang dibantu oleh penatua dan diaken. Oleh karena itu pendeta bertugas sebagai pengawas jalannya pelayanan para penatua, evanggelis dan para pelayan lainnya. Sebagai seorang pemimpin, pendeta bertanggungjawab memperlengkapi orang-orang kudus di dalam melaksanakan pekerjaan Allah[8]. Seorang pendeta haruslah lebih dahulu memperoleh pendidikan teologia dan mampu memenuhi syarat yang telah ditetapkan untuk menjadi seorang pendeta.

3.4 Di HKBP
Sejak tahun 1861 kekristenan telah memasuki tanah batak. Pada saat itu pelayanan masih dipengang oleh para missionaries. Setelah kedatangan I. L. Nommensen dimulailah babak baru dalam gereja batak, dimana para pelayan gereja diangkat dari orang-orang pribumi. Pada tahun 1883, RMG (Rheimesche Mission Geselschaf) memulai pendidikan kependetaan batak di Pansur Napitu. Dan kemudian di Pearaja Tarutung dilakukan pentahbisan pendeta pribumi yang pertama. Namun sampai tahun 1939 pendeta pribumi hanya sebagai pembantu RMG. Pada tahun 1940, barulah posisi pendeta pribumi berubah seiring berubahnya status HKBP menjadi gereja yang mandiri[9].
            Sesugguhnya pentahbisan pelayan gereja (pendeta) dimaksudkan bukan untuk kepentingan pejabat gereja ataupun gereja sebagai institusi, melainkan untuk kepentingan  Allah, dalam pembangunan kerajaan-Nya di dunia ini. Oleh karena itu, tanggungjawab yang berat untuk melanjutkan karya Kristus. Untuk itu pendeta di HKBP harus menjalani berbagai proses melalui pendidikan teologia dan masa praktek selama 2 tahun.

IV.              Pemahaman dogmatis tentang jabatan kependetaan di HKBP
Secara umum tugas-tugas kependetaan di HKBP sebagai teman sekerja Allah dibagi atas tiga bagian:
IV.1                       Pendeta Sebagai Pemimpin
Sebagai seorang pemimpin, pendeta adalah orang yang lebih dahulu mengambil langkah-langkah, mempelopori, dan menggerakkan anggota jemaat mencapai tujuan bersama. Dalam hal itu seorang pendeta memiliki hak dan kuasa ( bdn. Ef. 2:2;4:11-12; Mat. 28:29-20), tetapi harus mempertangung jawabkannya menurut sakramen-sakramen yang ada terutama kepada Allah.[10]
IV.2                       Pendeta Sebagai Pelayan
Sebagai seorang pelayan, pendeta merupakan seorang guru yang bertugas untuk mengajar dan mendidik jemaat tentang kebenaran firman Tuhan. Sebagai seorang pelayan, pendeta harus mampu masuk dan merasakan apa yang dirasakan jemaat, dan pendeta juga harus menjadi seorang penegak keadilan bagi orang-orang yang tertindas.
IV.3                       Pendeta Sebagai Pengkhotbah
Sebagai seorang pengkhotbah, pendeta harus menyatakan kebenaran Kitab Suci, dan seluruh kehidupannya harus sesuai dengan firman Allah (menjadi pengkhotbah yang hidup)[11]. Pendeta haruslah berbicara atas nama Allah, dan Kitab Suci, oleh otoritas kepada jemaat.
            Berdasarkan pembagian tugas pendeta secara umum dia atas, maka HKBP merumuskan tugas pendeta dalam beberapa ketetapan, yaitu:
  • Konfessi HKBP
Menurut konfessi HKBP tahun1951 pasal 9 tentang tugas jabatan-jabatan pelayan gereja adalah sebagai berikut
  1. Memberitakan Injil kepada anggota-anggota gereja dan luar gereja.
  2. Untuk melayani sakramen babtisan kudus dan Perjamuan Kudus.
  3. Untuk menggembalakan jemaat.
  4. Untuk mengajar kemurnian ajaran, melakukan tuntutan jiwa, dan melawan ajaran-ajaran sesat.
  5. Untuk melakukan pekerjaan diakonia
Selain untuk menegaskan tugas jabatan pelayan gereja, pasal ke -9 ini bertujuan untuk melawan pendapat yang meniadakan jabatan gerjawi seseorang atas pertimbangan pribadi bukan karena sesuatu hal yang dilakukan, yang bertentangan dengan jabatan gerejawi tersebut. Pasal ini juga bertujuan untuk menoak setiap pelayan yang melakukan pelayanan jika bukan karena gereja yang menyerahkan jabatan itu kepadanya.
            Melalui konfessi di atas jelaslah bahwa kepelbagaian jabatan pelayan di tengah-tengah harus menyerahkan dirinya secara sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas panggilannya di tengah-tengah gereja.
  • Agenda HKBP
Dalam agenda HKBP tugas jabatan pendeta adalah suatu tugas yang kudus. Oleh karena itu diperhatikan kepada para pendeta agar sungguh-sungguh menyadari betapa berat dan mulianya tugas jabatan tersebut. Tugas jabatan pendeta menurut agenda HKBP adalah sebagai berikut[12]..
  1. Memelihara harta yang telah diterima dari Yesus Kristus seperti yang dilakukan oleh gembala, memelihara yang dipercayakan kepadanya agar jangan tersesat, karena kelak akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan, menjadi teladan dan memberitakan Yesus Kristus yang diutus Allah untuk memperbaharui persekutuan manusia dengan Allah, karena dialah jalan kepada kehidupan, jalan kepada pertobatan dan jalan untuk kerukunan manusia dengan Allah.
  2. Kesungguhan dalam menasehati mereka yang mau datang hidup dalam kerendahan kepada Allah, demikian juga kesungguhan dalam menegor mereka yang tidak mau datang kepada kehidupan, agar tidak seorangpun yang menjadi sesat karena tidak ada nasehat, sehingga mereka tidak dituntut sebagai seorang pendeta.
  3. Memelihara kedua pekerjaan kudus, yaitu sakramen perjanuan kudus dan babtisan kudus. Meneliti dan mengamati para anggota jemaat agar hanya mereka yang patut dan yang mengenal dosa-dosanya dan menyesali perbuatan-perbuatannya yang layak mengikuti perjamuan kudus.
  4. Tekun mendidik dan memelihara anak-anak seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus.
  5. Menjaga dan memelihara seluruh anggota jemaat termasuk kepada para janda, kaum bapa dan kaum ibu, anak laki-laki dan anak perempuan seperti yang diperbuat oleh Rasul Paulus.
  6. Memiliki cara hidup yang baik agar menjadi contoh dan teladan bagi mereka yang digembalakan; teladan dalam perkataan, cara hidup, iman dan kasih.
  7. Hendaklah sepakat terhadap sesama pendeta. Didalam kepatuhan kepada Allah jenganlah berfikir sendiri-sendiri dan berselisih paham, serta saling memfitnah, agar memperoleh seperti apa yang didoakan oleh Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau ya Bapa, didalam Aku dan Aku didalam Engkau, agar mereka juga didalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.
Berdasarkan agenda HKBP ini, dapatlah dikatakan bahwa seorang pendeta memiliki tanggungjawab terhadap jabatannya (tohonannya) di dalam tugas panggilannya sebagai hamba Allah, yakni[13]
  1. Melayani sebagai pelayan utama dan pemimpin jemaat.
  2. Memperlengkapi anggota untuk melayani satu sama lain dan melayani semua orang.
  3. Merencanakan dan memimpin kebaktian, memberitakan firman Allah, melayani sakramen, melayani jemaat serta mewakili jemaat bagi jemaat dan gereja.
  4. Melayani sebagai penilik bagi organis dan pemimpin musik, pengurus sekolah minggu, serta berbagai bagian dalam organisasi dalam gereja.
  5. Melayani sebagai anggota penasehat bagi semua kelompok resmi dalam jemaat.
    • Aturan dan peraturan HKBP
Berdasarkan aturan dan peraturan HKBP tahun 1982-1992, disebutkan bahwa tugas seorang pendeta adalah sebagai berikut:[14]
  1. Menyuarakan suara kenabian dan mewartakan Injil.
  2. Melaksanakan sakramen babtisan Kudus dan perjamuan Kudus.
  3. Melaksanakan pelayanan keimanan di tengah-tengah jemaat.
  4. Melaksanakan tugas yang disampaikan oleh Kantor Pusat.
  5. Mengikuti rapat pendeta.
Secara khusus kuasa penumpangan tangan pada pelayan pendeta ingin menegaskan bahwa pendeta memiliki kuasa yang diberikan oleh Yesus Kristus sebagai raja, imam dan nabi. Sebagai raja, pendeta akan ditahbiskan sebagai tanda bahwa dia adalah hamba Allah, pembela keadilan dan pembawa damai sejahtera. Untuk itu pendeta dihargai dan diuji menurut sikap dan perbuatannya sendiri. pendeta sebagai nabi karena ia adalah juru bicara Allah yang bertugas memperingatkan dan menubuatkan kehendak Allah kepada jemaat. Pendeta sebagai imam, maksudnya ia sebagai pemimpin jemaat dalam beribadah kepada Allah dan berusaha agar peribadahan atau kebaktian dapat berjalan secara teratur dan benar.

V.                 Makna Jabatan Kependetaan
Jabatan pendeta adalah jabatan gerejawi yang diembankan kepada seseorang pelayan melalui pentahbisan setelah terlebih dahulu melewati berbagai proses termasuk pendidikan teologia. Melalui pentahbisan itu, pendeta menerima suatu tanggungjawab dengan wibawa yang penuh dengan nilai moral, etika dan spiritual. Secara tradisional tanggungjawab dan wibawa itu disebut dengan tohonan. Sesungguhnya pentahbisan pendeta adalah rentetan dari missio dei, mulai dari pemilihan Israel sebagai umat Allah (Qahal Yahwe), persekutuan orang-orang percaya di dalam Yesus Kristus (Ekklesia), masa gereja jaman rasul dan pasca rasul-rasul hingga jaman gereja sekarang.
Terdapat perbedaan sikap da antara berbagai denominasi gereja dengan aliran tertentu tentang jabatan kependetaan. Penganut Katolik , Luteran, dan beberapa gereja Anglikan menetapkan bahwa jabatan pendeta/pastor diberikan hanya kepada orang-orang yang telah menjalani pendidikan teologia, sedangkan beberapa aliran gereja (Kharismatik) memberikan jabatan pendeta kepada orang-orang yang telah menerima karunia dari Allah. Jabatan pendeta di dalam gereja HKBP adalah sebagai pelayan sakramen sesuai dengan pesan Kristus. Gereja memang dapat menetapkan pelayan-pelayan yang lain untuk mendukung pelayanan firman Tuhan, tetapi hal itu jabatan pelayan firman dan sakramen hanya diberikan kepada pendeta.
Dengan demikian makna jabatan pendeta harus sesuai dari konteks pemberitaan Injil, penegakan keadilan, pelayanan sakramen dan menjaga keutuhan ciptaan. Menerima tahbisan kependetaan berarti seseorang dengan rasa syukur berjanji setia dan menjadi kawan sekerja Allah dalam menghadirkan syaloom di tengah-tengah dunia ini (I Kor. 3:4-9).

VI.              Implikasi jabatan kependetaan dalam kehidupan Jemaat
Jabatan kependetaan dalam gereja HKBP bukan dipahami secara structural tetapi dipahami secara fungsional. Apabila jabatan kependetaan dilihat secara structural maka akan cenderung ada kemugkinan terciptanya suatu kesenjangan antara pelayan gereja, sehingga jabatan kependetaan itu menunjukkan adanya kelas-kelas sosial yang dilihat dari tingkatan kekuasaannya. Oleh karena itu para pelayan khususnya pendeta harus menyadari arti dari jabatan yang diberikan kepadanya. Jabatan adalah pintu gerbang dimulainya suatu penyangkalan dari dengan menomor-satukan Allah sebagai tuan yang mengutus hamba-Nya[15]. Jabatan pendeta yang diterima harus dipahami berasal dari Allah sebagai pengutus agung. Oleh karena itu jabatan tersebut merupakan anugrah Allah yang menuntut pertanggungjawaban kepada Allah. Jabatan pendeta memiliki fungsi untuk melayani dan bukan dilayani. Maka pelayan adalah sebuh identitas yang menunjukkan makna dan wibawa jabatan seseorang pendeta. Seorang pendeta dalam jabatannya sebagai cerminan Allah harus memiliki sifat-sifat tidak bercacat, tegas, penuh hikmat, rendah hati, dan mampu menyatakan kebenaran Allah di tengah-tengah dunia.
Kepemimpinan seorang pendeta harus disadari sebagai suatu sifat keteladanan yang dapat menjadi contoh bagi jemaat. Dengan demikian seorang pendeta harus memiliki beberapa asas dalam memangku jabatannya. Yaitu : asas iman, asas pengharapan, asas kasih dan kebersamaan, asas keadilan, kemandirian dan keterbukaan. Jabatan yang diterima oleh seorang pendeta harus disadari sebagai jabatan yang membawa keselamatan yang berpusat kepada diri Yesus Kristus, karena itu dalam setiap pelayanan seorang pendeta harus menjadi cermiman kehadiran Kristus ditengah-tengah jemaat, sehingga seluruh pribadi pendeta tersebut menuju kepada pengenalan akan Yesus Kristus[16].

VII.           Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan dalam beberapa poin mengenai “Makna jabatan kependetaan dalam gereja HKBP”.
  1. Gereja adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk memanggil seseorang menjadi hamba-Nya dalam rangka Missio Dei. Dengan demikian gereja memiliki kuasa untuk mengangkat dan mentahbiskan seorang pelayan misalnya pendeta.
  2. Jabatan kependetaan telah ditetapkan oleh Allah untuk melanjutkan pekerjaan Yesus Kristus di dunia, yaitu memberitakan firman Allah, menggembalakan kawanan domba Allah dan melakukan sakramen sesuai dengan pesan Yesus Kristus.
  3. Jabatan kependetaan haruslah dilihat secara fungsional bukan secara structural, sehingga tidak terjadi kesombongan dan penyalahgunaan jabatan tersebut.
  4. Sikap seorang pelayan hendaknya menjadi tiruan dan teladan dengan Yesus Kristus sebagai cerminan, yang akhirnya membawa setiap orang percaya menuju kepada pengenalan akan Yesus Kristus secara utuh.
  5. Jabatan kependetaan adalah salah satu jabatan gerejawi yang menjadi sentral kepemimpinan di dalam gereja.



















Daftar Pustaka
…………………                                Konfessi HKBP, Pearaja Tarutung: Kantor 1951                                            Pusat HKBP
…………………                                Agenda HKBP, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat 2003                                     HKBP
…………………                                Aturan dan Peraturan HKBP, Pearaja
1982                                        Tarutung: Kantor Pusat HKBP
Abineno, J. L                                        Pelayan dan Pelayanan Jemaat dalam
1991                                        Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung-Mulia
Berkhoff. H.                                         Sejarah Geraja, Jakarta:BPK Gunung-Mulia
            1991
Calvin, Yohanes                                   Instutio, Jakarta: BPK Gunung-Mulia
            1989
Dahlemburg, G. D.                               Siapakah Pendeta Itu? Jakarta: BPK Gunung-1993                                       Mulia
Lumbantobing, A.                                 Makna dan Wibawa Jabatan dalam Gereja 2002                                        Batak, Jakarta: BPK Gunung-Mulia
Lumbantobing,D. CWZ, Pakpahan       Gerak Persekutuan Eskatologis,
2002                                        Pematangsiantar: percetakan HKBP
M. B. Strom,                                        Apakah Pengembalaan Itu? Jakarta: BPK
2001                                        Gunung-Mulia
Rowley, H.                                           Ibadah Israel Kuna, Jakarta: BPK Gunung-1999                                           Mulia
Sanders, J. O.                                      Kepemimpinan Rohani, Bandung: Yayasan 2001                                           Kalam Hidup
Siahaan, S. M                                       Pengharapan Mesianis dalam Perjanjian
1990                                        Lama, Jakarta: BPK Gunung-Mulia
Walz, Edgar                                         Bagaimana Mengelola Gereja Anda?, Jakarta: 2004                                               BPK Gunung-Mulia
Zain, Muhammad                                  Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: 2000                                        garafika





























[1]               Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, 2000), hlm. 564
[2]               A. Lumbantobing, Makna dan Wibawa Jabatan dalam gereja batak, (Jakarta: BPK Gunung-Mulia, 1992), hlm 34
[3]               H. Rowley, Ibadah Israel Kuna, (Jakarta, BPK Gunung-Mulia, 1999), hlm. 27-29
[4]               Yohanes Calvin, Instutio,(Jakarta: BPK Gunung-Mulia, 1989), hlm. 98
[5]               S. M, Siahaan, pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung-Mulia, 1990), hlm. 10
[6]               J. L. Abineno, Pelayan dan Pelayanan Jemaat dalam Perjanjian baru, (Jakarta: BPK-Gunung-Mulia, 1990). hlm. 35
[7]               H. Berkhoff, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung-Mulia), hlm. 39
[8]               G. D. Dahlemburg, Siapakah Pendeta itu?, (Jakarta: BPK Gunung-Mulia, 1993), hlm. 48-51
[9]               C. W. Z. Pakpahan, Makna pentahbisan Pelayan Gereja, dalam buku CWZ. Pakpahan dan Darwin Lumbantobing  (peny), Gerak Persekutuan Eskhatologis, (P. Siantar: Percetakan HKBP, 2002), hlm 59-60
[10]             G. D. Dahlemburg, Op. Cit, hlm. 17
[11]             …….., Pelayan-pelayan Gereja dalam Konfessi HKBP Pasal 9, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1951), hlm. Hlm. 35-37
[12]             ……….., Tata Pentahbisan Pendeta dalam Agenda HKBP, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2003), hlm. 48-51
[13]             Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja anda?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 11-12
[14]             ……….., Aturan dan Peraturan HKBP, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1982), hlm.138-139.
[15]             J. O. Sanders, Kepemimpinan Rohani, (Bandung: Yayasan kalam Hidup, 2001). Hlm. 48
[16]             M. B. Strom, Apakah Pengembalaan itu?(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001)hlm. 27

KEMITRAAN EPHORUS DAN SEKJEND DALAM SISTEM KEPEMIMPINAN DWI TUNGGAL DI HKBP


(Satu Studi Historis Sistematis Terhadap Kemitraan Ephorus dan Sekjend, Implikasi TG 1950-1992)

I.                   PENDAHULUAN
Dalam sistem kepemimpinan di HKBP kita pernah mendengar istilah kepemimpinan Dwi-Tunggal. Istilah Dwi-Tunggal ini sendiri diartikan dengan “pasangan yang sangat erat dan kokoh antara dua tokoh”[1] Hal ini menandakan adanya 2 tokoh, atau 2 orang sebagai satu pasangan yang menjadi pemimpin dalam satu lembaga, atau persekutuan. HKBP mengenalnya sebagai Jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Hal ini pertama muncul pada Sinode Agung tahun 1950, dan juga dalam Tata Gereja 1950 menentukan HKBP dipimpim oleh Ephorus dan dan Sekretaris Jenderal sebagai pucuk pimpinan.[2]
HKBP dalam sejarah perkembangan HKBP, terjadi berbagai pergumulan internal yang terjadi, terlebih konflik pada kemitraan pada pemangku Jabatan, terutama pada Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan ini juga menjadi sumber dari beberapa konflik yang terjadi di HKBP. Tentunya dari konflik-konflik yang terjadi tersebut, membuat missi HKBP menjadi melemah dalam pelayanannya.
Maka dari itu, dalam tulisan ini, penulis ingin membahas mengenai Kemitraan dari kedua jabatan ini dalam kepemimpinan di HKBP, dengan beberapa penjelasan seperti makna dari jabatan tersebut, mempertimbangan tugas dan wewenang dari kedua jabatan tersebut berdasarkan TG 1950-1992, dan juga melihat fakta-fakta sejarah yang terjadi mengenai Kemitraan Kedua jabatan tersebut.
II.                PERMAHAMAN TERHADAP JABATAN EPHORUS DAN SEKJEND
2.1  Kajian Biblis
a.       Perjanjian Lama
Sistem Pemerintahan yang dwitunggal ini telah sebelumnya telah muncul pada zaman Perjanjian Lama, yang dapat kita lihat pada cerita kisah Yusuf yang diangkat Firaun menjadi penguasa (Kej. 41: 37-57). Meski diangkat menjadi penguasa, tetapi tetaplah Firaun yang ada diatasnya.[3] Dalam kedudukannya itu Yusuf berhasil menyelamatkan Mesir dari bahaya kelaparan yang melanda negeri itu selama tujuh tahun lamanya, dan dengan demikian lebih meningkatkan kekuasaan dan kewibawaan Firaun di mata rakyatnya sendiri. Dalam hal ini Tuntunan Allah terhadap Yusuf membuatnya diangkat menjadi penguasa untuk bertanggungjawab kepada Firaun sebagai orang yang mengatur Kerajaan keseluruhan[4]. Karena Firaun percaya dan mengenali Yusuf sebagai orang yang penuh dengan Roh Allah (ay.38), Firaun mengangkat Yusuf menjadi pengatur tangan di Mesir serta menjadikannya Perdana Menteri. Dia menempatkan Yusuf sebagai orang yang tertinggi di Mesir sesudah dirinya sendiri. Dia memberikan cincin materainya kepada Yusuf sebagai tanda kewenangan dan memberikan kuasa kepadanya untuk mengeluarkan keputusan-keputusan yang resmi.[5]
b.      Perjanjian Baru
Dalam Jabatan Ephorus dan Sekjend, dalam Perjanjian baru, disejajarkan dengan episkopos atau Bishop, dimana kuasa keputusan dan kepemimpinan tertinggi berada di tangan seorang episkopos. Episkopos sesuai tradisi PB, jelas merupakan produk dunia jemaat mula-mula. Munculnya, jabatan ini dalam tradisi jemaat mula-mula sangat didorong oleh kebutuhan akan kepemimpinan untuk menghadapi segala rupa pengaruh kekafiran yang memang hidup di tengah-tengah jemaat, sehingga mereka sangat membutuhkan pemimpin rohani yang kuat di dalam jemaat-jemaat untuk menjaga kekudusan.[6]
2.2  Pandangan Teologis dan Tinjauan Ekklesiologi
a.       Pandangan Teologis Terhadap Kedua Jabatan
Secara Teologi Menurut Andar Lumbantobing, Jabatan diberikan kepada orang-orang khusus yang dipilih untuk memimpin gereja (Ephorus, Sekretaris Jenderal, Praeses, dll) mereka memiliki kuasa tertentu berlandaskan Firman Allah. Oleh karena itu, jabatan tersebut tidaklah diatas jemaat atau pelayan lainnya, melainkan sebagai suatu hubungan timbal-nalik.[7] Kemudian, Dieter Becker juga mengatakan, Jabatan itu hakikatnya dimengerti sebagai pelayanan dan bukan sebagai kedudukan lebih tinggi, pemegang jabatan adalah hamba dan bukan tuan. Otoritasnya tidaklah tergantung dari keberadaannya tetapi dari isi pemberitaannya. Kemudian yang memegang jabatan bukan seorang yang luar biasa, melainkan dari dia yang menyampaikan sesuatu yang luar biasa. Jabatan juga harus dilihat terutama di dalam pengertian suatu fungsi, bukan sebagai suatu posisi, yang memegang jabatan hanyalah satu dari banyak anggota Tubuh Kristus.[8]
b.      Tinjauan Ekklesiologi
Istilah “Ephorus” berasal dari bahasa Latin yang berasal ketua, kepala, pemimpin. Tetapi yang sangkut-pautnya dengan akademis. Di kemudian hari di dunia Kristen di Jerman mengambil istilah tersebut dan dipakai dalam arti kepala gereja Kristen. Istilah ini juga dipakai RMG untuk menamai jabatan kepala pekerja-pekerja zending di suatu daerah zending mereka di Sumatera. Istilah ketua, praeses dan kepala sudah terlalu banyak dipakai di Barat, jadi untuk mengkhususkan pengertian tentang jabatan mengepalai pekerjaan zending di daerah lain, mereka mencari istilah Ephorus.[9]
Jabatan Ephorus adalah jabatan yang tertinggi dalam sistem pemerintahan Episkopal, oleh karena itu banyak pendeta Batak yang menganggap gelar tersebut prestisius, sebab Ephoruslah yang menaungi seluruh HKBP, termasuk juga mengatur segala pendeta dan jemaat-jemaat.[10] Kepemimpinan Ephorus HKBP bukan hanya terbatas pada masalah spiritual, melainkan juga meliputi banyak bidang dan kelembagaan. Kepemimpinan Ephorus juga meliputi rumah sakit, dan bidang pendidikan.[11] Kemudian, jabatan “Sekretaris Jenderal” yang diperkenalkan pada Tata Gereja 1950, dipercayakan untuk menangani Administrasi Pelayanan dan jemaat yang tesebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan jemaat HKBP yang ada di Negara lain.[12]
Awal munculnya Jabatan Ephorus, dapat kita lihat pada Tata Gereja 1881, dimana Jabatan ini sebagai Jalan keluar untuk masalah cara mempersatukan jemaat-jemaat HKBP secara organisatoris. Dari sini muncullah pertama kali struktur gereja yang tersusun seperti kerucut, mulai dari jemaat setempat, ressort, distrik dan sampai ditingkat teratas “Sinode Raya” Seluruh organisasi gereja yang tersusun tersebut berada dibawah pelayanan seorang yang disebut “Ephorus”, dan dari beberapa Praeses dipilihlah “Wakil Ephorus”.[13]
Pada masa pelayanan badan zending RMG (1861-1940), mengenai penetapan siapa yang menjadi Ephorus adalah hak dan wewenang Pimpinan Pusat RMG di Barmen, Jerman dan para penginjil utusan RMG di Tanah Batak. Tetapi sejak 1940 sampai sekarang pemilihan Ephorus berlangsung pada Sinode godang. Awal dari sistem pemilihan Ephorus pada forum Sinode Godang adalah Sinode Godang istimewa 10-11 Juli 1940.[14] Ephorus adalah pengurus dan wakil yang sah untuk mengendalikan segala milik dari badan pekabar Injjil (RMG) yang berada dalam daerah pelayanannya. Semua bangunan, yang dalam membangunnya dari uang Mission atau dari jemaat harus mendapat persetujuan dari Ephorus.[15] Wakil Ephorus adalah Praeses yang dipilih untuk mewakili Ephorus jangka waktu dua tahun melalui Konferensi Sinodal. Tugas wakil Ephorus adalah untuk melaksanakan segalam tugas dan hak Ephorus bila Ephorus berhalangan.[16]
2.3  Pemahaman Kristen Batak dengan sebutan Ephorus dan Ompu i
Seperti yang kita ketahui, penjabat Ephorus di HKBP digelari atau disebut sebagai Ompui oleh jemaat Kristen Batak, dan ini juga yang membuat jabatan Ephorus semakin prestisius di kalangan Pendeta Batak. Awal mula dan latar belakang munculnya gelar ini, pada masa keberhasilan penginjilan Nommensen di tanah Batak. Pada saat itu I.L Nommensen pada tahun 1862 yang diutus badan misi pelayanan RMG untuk penginjilan di Tanah Batak. Pada Tahun 1881 Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG, inilah jabatan Ephorus pertama di gereja HKBP. Tentunya peran Nommensen dalam misi penginjilan di tanah batak ini mendapat apresiasi dari bangso batak pada masa itu, hingga akhirnya para raja raja adat dan masyarakat setempat memberi gelar Ompu, gelar kehormatan ini Mengsejajarkan Nommensen dengan Si Singamangaraja.[17]
Gelar Ompu ini diciptakan oleh orang-orang Kristen Batak yang kagum atas keberhasilan pekabaran Injil yang membawa “Hamajuon” kepada kaum Batak, yang mengangkat harkat Batak dari keterbelakangan ke era modernisasi. Semua kisah-kisah sukses zending berkulminasi pada gelar kehormatan itu, yang barangkali dibaluri oleh budaya magis Batak, yang tersimpan dalam ungkapan abadi yaitu “sahala”, semacam sifat atau karakter “hasangapon” (kemuliaan), wibawa dan bahkan kekayaan dan banyak keturunan. Secara kultural, setiap orang Batak menghargai dan menghormati ompungnya, yaitu ayah dari ayah kandungnya, bukan hanya pada masa hidupnya, tetapi juga masa kematiaannya, yaitu “sumangot”nya atau rohnya. Gelar “Ompu i” mendapat reaksi atau kritik sejak 1970-an dan khususnya sejak tahun 2000-an. Ada yang mempertahankannya, bahkan ada suara yang mengatakan supaya Ompui Ephorus disejajarkan dengan Paus di Roma.[18]
Dalam sosok seorang Ephorus yang bergelar “Ompui” tersirat ragam pandangan yang bermuatan mitos-mitos Batak yang Magis. Ini juga dibarengi kerinduan agar kaum Batak punya figur agung ditengah masyarakat Batak dan kaum sekitarnya, supaya kaum Batak itu dipandang sama mulianya dengan kaum lain. Tentu bagi gereja HKBP tidak ada manfaatnya menteologikan gelar “Ompui”  yang merupakan bagian tak terpisahkan dari jabatan Ephorus. Kalau kepada figur Ephorus di mata budaya dan emosi Batak, gelar itu bebas bergerak kepada figur yang menjadi idola Batak. Sapaan “Ompunta” misalnya selalu diberikan kepada Praeses Cyrellus Simanjuntak dari Distrik Toba tahun 1950-ann -1970an. Pada simpul ini pula, tiada keharusan bagi setiap warga jemaat dan para pelayan HKBP menyapa seorang Ephorus HKBP dengan sapaan “Ompui” atau “Ompunta”.[19] Panggilan “Ompui” mencerminkan ketokohan Ephorus sebagai figur kepemimpinan yang punya otoritas tertinggi dalam melayanai, suatu otoritas melayani dan bukan dilayani. Itulah sosok ke-Ephorusan yang ditampilkan dalam figur I.L Nommensen.[20]
III.              JABATAN EPHORUS DAN SEKRETARIS JENDERAL
3.1  Tata Gereja 1940-1950 mengenai wewenang Ephorus dan siapa Wakil Ephorus
Periode ini termasuk kepada periode gerakan kemandirian gereja, dimana gerakan Pendeta Batak menuntut haknya untuk ikut memimpin HKBP. Dalam TG 1940, Kedudukan Ephorus sebagai pemimpin keseluruhan Gereja HKBP bersama-sama dengan “Kerkkbestuur” (jadi dipimpin oleh Ephorus dan Kerkkbestuur). Dalam Tata Gereja inilah awal penetapan Ephorus melalui Sinode Agung. Bukan lagi melalui wewenang pimpinan pusat RMG di Barmen. Kemudian, yang semakin menandai Kemandirian Gereja pada periode ini, adalah dimana pada Sinode Godang 10-11 Juli 1940 terpilih salah seorang putera batak yang pertama menjadi Ephorus yakni Pdt. Kasianus Sirait.[21] Kemudian pada Tata Gereja 1950, muncullah jabatan baru dalam kepemimpinan, yaitu jabatan “Sekretaris Jenderal”. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan yang dikemukakan, bahwa “HKBP adalah kesatuan seluruh Distrik HKBP yang dipimpin oleh Sinode Godang, Ephorus dan Sekretaris Jenderal dan Kerkkbestuur”.[22]
3.2  Tata Gereja 1950-1962 (Latar Belakang munculnya jabatan Sekjend, Tugas, dan Kemitraannya dengan Ephorus) 
Pada Tata Gereja 1950, muncullah jabatan baru dalam kepemimpinan, yaitu jabatan “Sekretaris Jenderal”. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan yang dikemukakan, bahwa “HKBP adalah kesatuan seluruh Distrik HKBP yang dipimpin oleh Sinode Godang, Ephorus dan Sekretaris Jenderal dan Kerkkbestuur”.[23] Awal dari kemunculan Jabatan ini dikarenakan seiring dengan semakin besarnya organisasi dan perkembangan jumlah jemaat yang semakin banyak. Maka pada tahun 1950 pada sidang Sinode Godang pemilihan pimpinan, HKBP memperkenalkan di dalam organisasinya jabatan “Sekretaris Jenderal”, untuk menangani Administrasi Pelayanan dan jemaat yang tesebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan jemaat HKBP yang ada di Negara lain.[24] Selain itu juga, tugasnya ialah memberi bantuan pemikiran dan tenaga buat tugas keephorusan sebagai pimpinan teratas di HKBP.
Ada anggapan, tentang latar belakang pengadaan jabatan Sekjen ini yaitu, mencegah agar Ephorus tidak serupa dengan Paus. Namun sebenarnya bukan begitu yang menjadi alasan pokok pada ketentuan adanya jabatan Sekretaris Jenderal. Yang menjadi persoalan yaitu, pada tahun 1950, ketika peraturan ini disusun, orang-orang sepakat mengangkat seorang Ephorus dari kalangan pendeta tua dengan anggapan sangat dihormati menjadi Ephorus. Namun waktu itu belum ada dari kalangan pendeta tua yang memiliki gelar Sarjana Teologi. Oleh sebab itu, orang-orang mengangkat seorang dari pendeta tamatan Sekolah Tinggi Theologia Jakarta untuk mendampingi Ephorus, yang berfungsi sebagai Sekretaris Jenderal. Menurut mereka Ephorus harus menjadi lambang, sedangkan Sekretaris Jenderal menjadi tulang-punggunnya. Sistem “duokrasi” yang ditegakkan itu, yang terdiri dari seorang pendeta tua yang tidak mempunyai pendidikan akademis sebagai Ephorus, dan seorang Sekretaris Jenderal yang lebih muda dan mempunyai pendidikan Teologi tinggi sudah jelas akan mudah berubah menjadi “monokrasi” kalau seorang dari antara mereka, karena suatu alasan, terhalang untuk melakukan tugas kewajibannya. Untuk mencegah terjadi kekuasan duokrasi atau monokrasi ditetapakan, anggota-anggota Majelis Pimpinan Pusat dipilih untuk masa jabata empat tahun, termasuk Ephorus dan Sekretaris Jenderal.[25]
Mengenai tugas dari Kemitraan Ephorus dan Sekjend dapat kita lihat pada TG 1950, mengenai ketentuan dalam memilih dan menetapkan kedua jabatan ini. Dimana Ephorus dan Sekjen dipilih melalui Sinode Godang dengan jangka waktu setiap 4 tahun sekali. Ephorus dan Sekjen terpilihlah yang memimpin seluruh HKBP termasuk manguluhon Sinode Godang dan Rapat Kerkbestuur. Dari sinilah muncul kepemimpinnan dwi-tunggal.[26] Tugas utama keduanya menurut TG 1950: “merekalah yang menetapkan cara kerja untuk semua pejabat HKBP dan memutuskan segala persoalan yang diajukan kepada pimpinan gereja setelah mendengar pendapat para praeses dan anggota-anggota majelis pusat”. Uraian tugas ini jelas memberi pengertian bahwa kepada Ephorus dan Sekretaris dipercayakan hak dan kekuasaan yang sangat besar soal-soal kepemimpinan.[27]
Tetapi pada TG 1962 tidak lagi mempertahankan dwi-tunggal. Ini terlihat dari adanya pergeseran tugas kepemimpinan di tingkat paling atas, antara Ephorus dan Sekjend, dimana Kepemimpinan HKBP dilimpahkan sepenuhnya kepada Ephorus. Sedangkan tugas dari Sekretaris Jenderal yaitu : Laho mandalanhon angka sihobasan di HKBP diandonghon HKBP do parhobasna na niuluhon ni Sekretaris Jenderal, na pinillit ni Sinode Godang. . .”. Tetapi bila Ephorus berhalangan, Sekretarsi Jenderal menjadi wakilnya. Tugas Kemepimpinan Ephorus sebagian besar diserahkan kepada Sekretaris Jenderal dalam bidang kegiatan-kegiatan yang diemban beberapa seksi. Dengan demikian, Ephorus mempunyai peluang banyak mengatur pelayanan gereja di dalam dan diluar dirinya; pelayanan yang diwarnai oleh unsur teologis, pastoral, dan praktis.[28]
3.3  Tata Gereja 1962-1972 dan Situasi Umum yang Terjadi
Tata Gereja 1950, memunculkan jabatan baru, yaitu Sekretaris Jenderal. Wewenang kepemimpinannya setara dengan Ephorus. Pada Sinode Godang 1950 mengemukakan istilah “Pucuk Pimpinan” HKBP yang menunjuk pada jabatan Ephorus dan Sekjend. Pandangan tentang dwi-tunggal antara Ephorus dan Sekjen berubah dalam tata gereja 1962 dengan mencantumkan pembagian tugas.[29] Dalam Tata Gereja 1962, ada pergeseran tugas kepemimpinan di tingkat paling atas; antara Ephorus dan Sekretaris Jenderal (berbeda dengan Tata Gereja 1950). Tata Gereja 1962 tidak lagi mempertahankan dwi-tunggal antara kedua jabatan tersebut, tetapi melimpahkan kepemimpinan HKBP kepada Ephorus, jadi kembali ke Tata Gereja 1930.[30] Ephorus memimpin seluruh HKBP dan Sekjen memimpin pengelolaan unit-unit pelayanan yang disebut seksi yang kemudian Tata Gereja 1972 disebut Departemen. Dengan demikian sejak Tata Gereja 1962, Sekjen dalam proses kepemimpinan HKBP secara menyeluruh berada di bawah Ephorus. Komposisi ini tetap diterapkan dalam Tata Gereja 1982 dan Tata Gereja 1994.[31]
Dalam konteks masa tahun 1962 ini, HKBP terjadi konflik yang disebabkan kemitraan dari kedua jabatan tersebut. Seharusnya tahun 1940 merupakan saat yang menentukan bagi gereja HKBP merampungkan langkah pertamanya menuju kemandirian (dalam kepemimpinannya) yang sepenuhnya. Namun, hingga masa akhir kepemimpinan Dr. J. Sihombing (1962) gereja HKBP masih belum mewarnai sejarahnya dengan konflik internal terhadap soal pergantian jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan bila tahun 1942, para utusan zending Belanda masih berusaha menduduki/merebut jabatan tertinggi di dalam gereja, melaluinya mereka masih mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri mengenai struktur dalam gereja. Dari hikmat ini dapat disimpulkan bahwa seteru konflik pendeta Batak terhadap kekuasaan adalah berasal dari para pendeta di luar orang Batak sendiri.[32]Ada indikasi nampaknya perseteruan dan konflik awal di kalangan para pendeta serta orang Kristen Batak tentang kekuasaan gereja, ini sangat dipengaruhi oleh rumusan TG 1962-1972 (konseptor utamanya ialah Sekretaris Jenderal HKBP Ds. T.S. Sihombing) yang faktanya TG ini adalah “hasil konsep dan rumusan pertama pendeta Batak itu sendiri”.  Sampai tahun 1962, HKBP masih memakai TG 1920-1932 yang diperpanjang masa berlakunya walau kemudian  menyebutnya sebagai TG 1940-1950 dan seterusnya berlaku sampai tahun 1962.[33]
Sebagai acuan penyelenggaraan Sinode Godang HKBP 1962, Tata Gereja 1962-1972 (TG ini ditetapkan pada bulan Juni 1962) adalah merubah dan mengurangi peran kasbestur dan penatua dalam jemaat. Sebagai konseptor utama Tata Gereja 1962 diduga adalah Ds. T.S. Sihombing yang terpilih menjadi Ephorus HKBP dan Ds. G.H.M.Siahaan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal memimpin HKBP periode 1962 – 1968. Ketegangan HKBP melalui SG 1962 ternyata tidak berakhir hanya pada saat itu. Sementara ketegangan dalam gereja terus berlanjut, mengenai Surat Keputusan (SK) mutasi beberapa orang pendeta nyata mempertajam konflik internal dalam gereja. Ketika sebagian besar pendeta yang dimutasikan memilih tidak mentaati SK Ephorus sebagai pimpinan, pemecatan para pendeta (17 Maret 1963) menjadi babak dan warna baru bagi corak kepemimpinan itu. Akibat dari keadaan ini, konflik berkepanjangan terus berlangsung di dalam tubuh HKBP.[34]
3.4  Tata Gereja 1972-1982
Dalam Tata gereja ini ditegaskan, tentang Sekretaris Jenderal yang disebut untuk membantu Ephorus dalam menjalankan segala pelayanan di HKBP, karena Ephorus merupakan Pemimpin HKBP secara keseluruhan. Dengan rumusan ini, pandangan dwi-tunggal yang tersirat dalam panggilan umum “Pucuk Pimpinan” pada satu pihak dihindarkan dan pada pihak lain dipertajam batasan fungsi masing-masing serta menekankan kerjasama yang utuh. Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan pada relasi semakin dituntut dalam bidang kepemimpinan HKBP.[35]
Setelah Ds. G.H.M Siahan terpilih menjadi Ephorus melalui Sinode Godang HKBP 1974, tahun 1976 ia menginformasikan kepada sidang Sinode Godang melalui laporan tahunannya (Barita Jujur Taon Ephorus 1976), yang menyatakan bahwa dirinya “tidak akan bersedia lagi memimpin Rapat Majelis Pusat, bila tidak ada perubahan yang terlihat”.  Pernyataan ini semakin diperjelas oleh pernyataan Siahaan lainnya mengatakan: “…na so sada tondi na manggomgomi ahu dohot Parhalado Pusat-roh yang mendiami saya tidak satu dengan Majelis Pusat”. Melalui ungkapan ini, perselisihan semakin mewaris/terungkap di HKBP. Bila tidak bersedianya Ds. G.H.M. memimpin rapat Majelis Pusat dan sikap ini didorong oleh dua alasan: pertama, secara organisasi Majelis Pusat merupakan pengontrol ke dua dalam kepemimpinan HKBP, ini berarti banyak rapat dan keputusan Majelis Pusat yang tidak diketahui Ds. G.H.M Siahaan sebagai Ephorus yang menurut para angota Majelis Pusat ketika itu, Ephorus jangan mengacaukan keputusan-keputusan mereka. Kedua, penghayatan iman Ds. G.H.M Siahan memahami tidak berada di dalam satu roh  yang sama (…ndang sa tondi) dengan Majelis Pusat. Pada akhirnya, pernyataan Ds. G.H.M Siahaan ini memancing munculnya percapakan, diskusi-diskusi serta seminar-seminar di HKBP untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan: “hamaolon-kemelut HKBP dan apa artinya Roh dan pelayanan dalam HKBP”. Jadi dapat dikatakan bahwa uraian ini hendak memaparkan bentuk dan corak kepemimpinan HKBP menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi pelayanan, ibadah dan persekutuan dengan sesama juga dengan Tuhan ke masa selanjutnya HKBP.[36]
3.5  Tata Gereja 1982-1994 dan Situasi yang terjadi
Dalam Tata gereja ini ditegaskan, tentang Sekretaris Jenderal yang disebut untuk membantu Ephorus dalam menjalankan segala pelayanan di HKBP, karena Ephorus merupakan Pemimpin HKBP secara keseluruhan. Dengan rumusan ini, pandangan dwitunggal yang tersirat dalam panggilan umum “Pucuk Pimpinan” pada satu pihak dihindarkan, dan pada pihak lain dipertajam batasan fungsi masing-masing, serta menekankan kerjasama yang utuh. Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan pada relasi semakin dituntut dalam bidang kepemimpinan HKBP.[37]
Pada Tata gereja ini juga, Kedudukan atau posisi Ephorus masih dipertahankan sebagai pimpinan tertinggi di HKBP. Namun Rumusan kedudukan atau posisi Sekretaris Jenderal dalam sistem kepemimpian mendapat perubahan, namun perubahan itu memungkinkan interpretasi jamak. Dimana Tata Gereja 1982, Ephorus dalam menjalankan pelayanannya, dibantu oleh Praeses, Kepala Biro, dan Pimpinan Departemen yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Dalam posisinya pun, Sekretaris Jenderal berada di bawah posisi Ephorus sebagai penerima laporan pertanggungjawaban tugas dari Sekretaris Jenderal.[38]
Jabatan Ephorus dan Sekjen HKBP periode 1978-1986 dipangku oleh Ds. G. H. M Siahaan dan Ds P.M Sihombing, M.Th. Pada beberapa periode sebelumnya pernah terjadi bahwa menduduki jabatan Sekjen sebagai langkah ampuh untuk terpilih menjadi Ephorus. Pada tahun 1986 diadakan Sinode Godang di Sipoholon Tarutung untuk memilih fungsionaris baru. Dimunculkan dua calon untuk dipilih menjadi Ephorus, yaitu Ds. P. M. Sihombing dan Pdt. Dr. S. A. E. Nababan. Setelah pemungutan suara, yang terpilih menjadi Ephorus untuk periode 1987-1992 adalah Pdt. S.A.E. Nababan dan Sekjennya adalah Pdt. O.P.T. Simorangkir. Selama periode ini banyak program kerja yang dilaksanakan untuk memajukan HKBP menghadapi era Globalisasi.[39]
Namun sejak pertengahan tahun 1987 mulai muncul konflik internal di HKBP karena pimpinan HKBP merestui safari penginjilan Tim Evangelisasi Nehemia (TEN) dari Jakarta ke Tapanuli. Sekelompok kecil Pendeta HKBP yang dinamai “kelompok sebelas” mengkritisi kehadiran dan cara pelaksanaan TEN yang dinilai bernuansa Kharismatik. Beberapa tokoh Batak dari Jakarta yang perduli, berkontribusi untuk meredakan dan menyelesaikan konflik internal HKBP. Tetapi konflik internal HKBP semakin menajam karena kemitraan kerja di antara Ephorus dan Sekjen saat itu tidak terjalin secara baik. Konflik semakin memanas pada akhir periode kepemimpinan HKBP 1987-1992.[40]
Dapat dikatakan bahwa akumulasi perselisihan masa periode ini diawali dari sikap tidak terima Ds. P.M. Sihombing atas kekalahannya untuk memimpin HKBP (sebagai Ephorus) periode 1986-1992. Nyatanya, sikap ini sangat mempengaruhi dirinya membentuk kelompok sendiri dan menolak kepemimpinan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan. Gerakan dan aksi kelompok ini semakin menguat ketika kelompok lain yang menamakan diri  “parretreat” muncul.[41] Menurut laporan pelayanan tahunan Ephorus HKBP pada Sinode Godang 1988  Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, kelompok ini lahir saat sebagian pendeta HKBP mengadakan retreat di Parapat tanggal 16 Maret 1988 di mana retreat ini berlangsung tanpa sepengetahuan dan persetujuan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sebagai Ephorus HKBP.[42]
Bagi Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan kegiatan dan aksi kelompok ini (parretreat) telah mempermalukan wibawa dam kuasa kepemimpinan gereja melalui disebarkannya brosur berisi surat agong (surat kaleng) ke berbagai media massa yang menjatuhkan nama Ephorus. Padahal gereja sudah memiliki sistem dan dinamika sendiri untuk mencari dan mengambil keputusan terhadap penyelesaian setiap permasalahannya. Pada akhirnya jalan keluar yang ditempuh Sinode Godang HKBP 1988 untuk menyelesaikan masalah “parretreat”, ini ditempuh dengan dua cara. Bagi mereka yang bersedia meminta maaf (5 orang Pdt, 1 orang Sintua) diterima kembali sebagai pelayan di dalam gereja, namun bagi mereka yang tidak bersedia meminta maaf (21 orang Pdt, 9 orang Sintua) “tohonan hapanditaon” (jabatan kependetaan) ditarik dan dikeluarkan (dipecat) dari pelayanan gereja.[43]
Kemudian pada Tata gereja 1994, setelah adanya jabatan Sekretaris Jenderal, dijelaskan situasi dan masalah yang terjadi. Dimana Konflik terjadi di kalangan Pimpinan Pusat HKBP (Ephorus, Sekjen, Majelis Pusat dan Praeses) telah menghadapkan HKBP pada situasi yang mengarah pada konflik dan perpecahan di antara jemaat-jemaat HKBP yang pada akhirnya meruntuhkan sistem pengorganisasian kegerejaan itu mulai dari pusat hingga ke jemaat-jemaat setempat. Gambaran kepemimpinan dwitunggal antar Jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal yang paling meresahkan dan bahaya adalah kepemimpinan periode 1974-1980 (Ephorus Ds. G. H.M Siahaan dan Sekretaris Jenderal Pdt. Dr. Frans Sianipar) dan periode 1987-1993 (Ephorus Pdt. Dr. SAE Nababan dan Sekretaris Jenderal Pdt. OTP Simorangkir). Bahkan ketika sinode Agung Istimewa, di Tiara Hotel, Medan 11 Februari 1993, berhasil memilih Pdt. Dr. PWT Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt. Dr. S.M Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal, hubungan mereka hanya sebentar sebagai dwitunggal, selanjutnya menjadi dua pemimpin yang saling tarik-menarik. Kondisi kepemimpinan yang dualistis tersebut merupakan pengalaman buruk di HKBP, dan menjadi salah satu unsur yang melatarbelakangi pemikiran yang bersifat kolegial, hal itulah kemudian di tampung pada AP 2002.[44]
3.6  Tata Gereja 2002-2012 dan Kepemimpinan Ephorus dan Sekjen pada Sistem Kolegial
Istilah kolegial adalah kata sifat, yang artinya bersifat seperti teman sejawat (sepekerjaan) atau akrab. Dan bila dihubungkan dengan sistem kepemimpinan, istilah kolegial ini dicirikan sebagai bentuk pembagian kuasa/ kekuasaan kepada yang lain secara bersama-sama.[45] Kepemimpinan Kolegial di HKBP secara luas diatur dalam Tata Gereja 2002 terutama ditingkat pusat. Dalam tradisi budaya Batak, pemimpin itu adalah seseorang yang mempunyai sahala (spiritual yang unggul) dan mampu menunjukkan kemampuanya dalam dunia magis. Menjalankan hukum secara adil dan mampu bersikap tegas dalam mengambil keputusan.[46]
Kepemimpinan Kolegial di tingkat Pusat yaitu meliputi lima unsur pimpinan yaitu Ephorus Sekretaris Jenderal, 3 Kepala Departemen yang meliputi pelayanan Koinonia, Diakonia, Marturia. Namun tetap saja Ephorus sebagai pimpinan tertinggi karena setiap Kepala Departemen dan Sekretaris Jenderal dalam melaksanakan tugas-tugasnya selalu membuat laporan dan pertanggungjawaban kepada Ephorus. Selain itu juga, dalam Rapat Pimpinan dapat kita lihat bahwa Ephorus sebagai Pimpinan tertinggi di HKBP, dimana Dalam Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002, ada rapat di tingkat pusat yang disebut “Rapat Pimpinan” dan ini dipimpin oleh Ephorus, dimana anggotanya adalah Sekjen, Kadep Koinonia, Diakonia, dan Marturia dengan waktu sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan.[47]
Setelah bertambahnya jabatan pada Kepemimpinan HKBP di pusat, dan supaya kita dapat melihat kelanjutan dari Kemitaraan Ephorus dan Sekjen ini, akan kita lihat dalam Aturan dan peraturan 2002-2012 yang menjabarkan beberapa tugas dari Ephorus dan Sekjen dalam Kepemimpinan HKBP :
a.      Tugas Ephorus
  • Mendoakan dan menggembalakan jemaat-jemaat dan pelayan-pelayan di segenap HKBP.
  • Melaksanakan pembinaan terhadap pelayanan-pelayan tahbisan dalam rangka upaya meningkatkan kemampuan mereka melaksanakan tugas-tugas pelayanannya, terutama dalam pelayanan firman dan penggembalaan.
  • Memelihara dan menyuarakan tugas kenabian HKBP terhadap pemerintah atau penguasa melalui kata-kata maupun perbuatan nyata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan ditengah-tengah Bangsa dan Negara.
  • Mewakili HKBP terhadap Pemerintah, Gereja dan badan-badan lain di dalam maupun di luar negeri.
  • Memimpin segenap HKBP dibantu oleh Sekretaris Jenderal dan Kepala Departemen berdasarkan Alkitab, Konfessi, Aturan Peraturan dan RPP sebagai manifestasi kepatuhannya kepada Yesus Kristus, Raja Gereja. Ephorus dapat medelegasikan wewenang melaksanakan tugas-tugas tertentu kepada Sekretaris Jenderal, Kepala Departemen atau Praeses, atau anggota Majelis Pekerja Sinode sesuai dengan kebutuhannya.
b.      Tugas Sekjen
  • Menyertai dan membantu Ephorus memimpin HKBP bersama-sama dengan Kepala Departemen.
  • Melaksanakan administrasi gereja yang baik sesuai dengan pedoman penatalayanan HKBP.
  • Mewakili Ephorus melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh Ephorus sesuai dengan kebutuhannya.
  • Menerima laporan pelayanan dari organ-organ pelayanan di bawahnya.
  • Bersama-sama dengan Kepala Departemen membantu Ephorus menyusun Berita Pelayanan untuk disampaikan kepada Rapat Majelis Pekerja Sinode dan laporan pertanggungjawaban untuk disampaikan kepada Sinode Agung.
Pada sistem kepemimpinan Kolegial ini, Ephorus tidaklah lagi hanya bermitra pada Sekjen tetapi juga dengan 3 Kepala Departemen. Namun untuk dapat melihat paradigma peran baru Sekretaris Jenderal di HKBP pada masa ini, maka telah diadakan strukturisasi dan koordinasi dari banyak Departemen dan Biro di periode yang lalu, menjadi pendukung pelayanan umum HKBP, supporting system bagi seluruh pelayanan 3 departemen dan koordinator distrik. Tetapi karena berbagai hal, maka ada pula beberapa tugas tambahan dan pengurangan pelayanan yang harus dilakukan ke masa depan yang membutuhkan uraian tugas yang jelas dan pasti secara otorisas mengkordinir pelayanan di fungsi Sekretaris Jenderal. Pada awal periode ini telah diadakan strukurisasi dan melakukan peningkatan kapasitas staf di semua struktur. Kegiatan-kegiatan yang dikoordinasi Sekretaris Jenderal , menyangkut:[48]
  • Pelayanan Umum dan Pelayanan Kejemaatan
  • Penataan Kepersonaliaan HKBP
  • Disseminasi informasi pelayanan sebagai pendukung program ketiga Departemen di HKBP
  • Penataan administrasi umum di HKBP
  • Penataan Keuangan umum, sistem pengawasan HKBP
  • Penataan dan pengembangan program Kemandirian HKBP, serta jaringan kemitraan dalam dan luar negeri
  •  Bantuan Hukum bagi jemaat karena persoalan kepemilikan tanah, dll.
IV.              ANALISA, KRITIK DAN SARAN
4.1  Analisa
Gereja HKBP merupakan hasil dari perjuangan para Missionaris yang datang ke tanah Batak untuk menyampaikan Injil kepada orang-orang yang belum percaya kepada Firman Allah. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak masyarakat Batak yang mulai percaya kepada Firman Allah. Dari banyaknya orang Batak yang menjadi Kristen, disini HKBP mulai membentuk Struktur Organisasi yang ditandai dengan adanya Kepemimpinan yang diserahkan kepada Ephorus sebagai pemimpin tertinggi. Ephorus sendiri diutus dari badan Zending RMG. Hal ini dimaksud untuk menjaga kesatuan dari jemaat Kristen itu sendiri sebagai daerah penginjilannya. Namun pada tahun 1940, mulai gerakan dari masyarakat Batak menuju kepada Kemandirian Gereja, dimana Jemaat Kristen Batak bersikeras untuk membentuk Gereja HKBP yang berdaulat. Gerakan ini menghasilkan Ephorus pertama dari Pendeta Batak yaitu Pdt. Kasianus Sirait. Ini dikarenakan oleh Konflik antara masyarakat Batak dengan pemerintahan zaman Kolonial Belanda.
Kemudian, Pada tahun 1950 melihat Gereja HKBP yang baru Mandiri, maksud lain dari Sinode Godang memunculkan Jabatan Sekretaris Jenderal di HKBP, membantu Ephorus untuk mengambil langkah awal membangun expansi pelayanan, Administrasi, dan dari seluruh segi kehidupan masyarakat. Disamping itu juga disebabkan jumlah jemaat HKBP yang semakin banyak, Jabatan ini membantu Ephorus untuk membantu memaksimalkan Pelayanan HKBP dengan berbagai program yang dibentuk, dengan pertanggungjawaban terhadap Ephorus. Kemudian adanya pergerseran posisi pada Tata Gereja 1962, dimana Ephrous menjadi pemimpin penuh di HKBP, namun melimpahkan sebagian Tugasnya kepada Sekretaris Jenderal. Pergesaran ini penulis melihat, bukan karena adanya pergesekan atau konflik, tetapi adanya maksud untuk mengembangkan sayap HKBP dengan gereja lain, dan tetap membina atau mengembangkan pelayanannya di dalam. Ini telihat dari tugas Sekjen untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan melalui beberapa seksi dalam HKBP untuk menjawab permasalahan yang terjadi mengenai pemanfaatan potensi-potensi yang ada di kaum pelayan dan jemaat, dan Ephorus bekerja diluar gereja, untuk membangun relasi-relasi dengan gereja lain.
Namun seiring perkembangan HKBP, Jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal ini penulis melihat bahwa ada pergeseran makna Jabatan keduanya. Yang mana penggembalaan menjadi penguasaan. Oleh sebab itu penulis juga melihat bahwa jabatan Sekretaris Jenderal dirubah posisi yang awalnya sejajar dengan Jabatan Ephorus dan dirubah menjadi wakilnya Ephorus. Selain itu, Kedua Jabatan ini juga menjadi sumber dari konflik yang terjadi. Ini disebabkan karena Jabatan Ephorus dan Sekjen yang prestisius bagi orang Batak. Sehingga banyak melakukan berbagai cara termasuk memasukkan politik dalam pemilihan Ephorus dan Sekjend.
Dalam rumusan Tata Gereja HKBP 1972-1982 masih diperoleh kesan tentang semacam “semangat etnisitas” Batak yang khas, tercermin dalam kalimat “pardomuan ni halak Kristen Batak Protestan” (persekutuan orang Kristen Batak Protestan). Tetapi semangat yang sedemikian, secara eksplisit tidak terlihat lagi dalam Tata Gereja HKBP 1982-1992 dan Tata Gereja HKBP 2002, tetapi  dengan spesifik menyebut “seluruh Indonesia”. Hal ini menggambarkan kesan semacam “semangat nasionalisme”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam formulasi Tata Gereja 1972-1982 masih terasa dimensi HKBP sebagai “gereja etnis”, sedangkan HKBP dalam versi Tata Gereja 1982-1992 dan Tata Gereja 2002 sudah menyatakan diri bukan lagi gereja etnis tetapi cenderung lebih menonjolkan ciri nasionalisme.
Pada periode selanjutnya, terutama di Sistem Kepemimpinan yang bersifat Kolegial, ada tuntutan bahwa HKBP dalam menjalankan tugas pelayan dengan corak dan model kepemimpinannya harus bersikap inklusif, terbuka dan dialogis. Karena setiap corak dan model dan bentuk kepemimpinan gereja yang diterapkan selalu ada plus dan minusnya. Sehingga seturut perkembangan pelayanan gereja di masa depan, terus mencari hingga akhirnya merealisasikan model dan bentuk kepemimpinannya yang ideal.
4.2  Kritik
Gereja HKBP memang merupakan suatu organisasi yang memangku tanggungjawab pelayanan kepada Jemaat. Dulu Kedua Jabatan ini (Ephorus dan Sekjen) dihadirkan karena perkembangan jemaat yang pesat dan untuk mengembangkan pelayanan terhadap jemaat melalui kerjasama atau Kemitraannya. Namun kini, kita lihat bagaimana Jabatan itu dikalangan Pendeta bahkan jemaat diberbagai gereja dipandang sebagai kekuasan, dengan macam-macam tujuan baik itu buruk atau tidak, baik untuk pribadi atau untuk komunal. Terkadang Pendeta sekarang lupa dengan makna dari tohonannya yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu mandat atau tanggungjawab untuk melayani Tuhan. Kemudian, Jabatan tidaklah lagi dianggap sebagai pemberian dari Tuhan atau dianggap sebagai panggilan Allah, namun sekarang dianggap sebagai prestasi yang harus di kejar, entah itu dengan cara yang baik atau tidak.
4.3  Saran
Sebagai umat Allah, terutama sebagai pelayan (pendeta) layaklah kita untuk melaksanakan tugas-tugas atau mandat yang telah kita terima melalui Tohonan. Sekalipun ada jabatan yang kita miliki, itu bukanlah kekuasaan melainkan panggilan Allah terhadap kita untuk menerima tanggungjawab dan pelayanan yang lebih besar lagi bagi masyarakat. Dan dalam menggunakan Jabatan agar tidak semena-mena, melainkan kita jalankan tugas sebagai tanggunjawab kita kepada Allah.


V.                 KESIMPULAN
Ephorus adalah kepala yang memimpin seluruh HKBP,dan Sekretaris Jenderal adalah rekan Kerja Ephorus dalam kepemimpinan di HKBP. Kemitraan Kerja Ephorus dan Sekjen, bermula dari Tata Gereja 1950, dimana awal dari Jabatan Sekjen muncul. Berbagai tugas dan wewenang dari kedua Jabatan mengalami pergeseran dari selama periode Tata Gereja yang berlangsung. Diadakannya Kedua Jabatan ini dengan tugas dan wewenang diembannya, diharapkan dapat menjadi figur pemimpin yang dapat mengembangkan dan menjawab berbagai kemelut permasalahan yang dihadapi Gereja. Namun pada perjalanan HKBP sendiri, justru Kemitraan kedua Jabatan ini menjadi sumber dari masalah di HKBP, dimana itu berdampak buruk bagi pelayanan jemaat. Dari sini kita harus dapat memahami Jabatan bukan sebagai kekuasaan melainkan pelayanan, dan harus mengutamakan kepentingan bersama di jemaat.












DAFTAR PUSTAKA
Bergant, Dianne, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Hinson, David F., Sejarah Israel pada zaman Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
HKBP, Barita Pangulaon, Berita Pelayanan Sekretaris Jenderal, kepala Departemen Koinonia, Marturia, dan Diakonia, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2008.
Hutauruk, J. R., Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Tarutung: Kantor Pusat HKBP 2011.
Hutauruk, J. R.,  Menata Rumah Allah, Tarutung: Kantor Pusat HKBP,2008.
Hutauruk, J.R, Teologi dan Bahasa Figuratif, Medan: LAPiK, 2017.
Lumbantobing, Andar M. , Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Lumbantobing, Darwin,  HKBP is HKBP, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Lumbantobing, Darwin, “Tegar dalam Badai , Teguh Mencipta Damai” dalam buku, Biografi, Figur dan Pandangan Teologis Ompui Ephorus Ds. G.H.M. Siahaan, Pematang Siantar: L-SAPA, 2005.
Notulen Sinode Godang HKBP 1988.
Notulen Sinode Godang HKBP, 1988.
Pakpahan, C. W. Z. , Makna Pentahbisan Pelayan Gereja, dalam buku C.W.Z Pakpahan dan Darwin Lumbantobing (peny), Gerak Persekutuan Eskhatologis, Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2002.
Pasaribu, Johan B, Organisasi dan Manajemen HKBP, Jakarta: Yayasan Borbor, 2003.
Pfeiffer, Charles F, The Wycliffe Bible Commentary, Chicago: Moody Bible Institute, 1962.
Sagian, Riris J,  Sahala, Pematang Siantar: Lembaga Bina Warga HKBP, 2016.
Sihombing, Sikpan, Pemimpin dan Kepemimpinan, Pematang Siantar: Perc. Syalom, 2017.
Sirait, Turman,  Ephorus Pdt. Kasianus Sirait: Berjuang demi Kemandirian HKBP, Jakarta: PT. Elsotamas Printindo, 2005.
Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002 setelah amandemen kedua, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2015.
Ten Napel, Henk, Kamus Teologi Inggris-Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011.
            Sumber Internet :






[1]“dwitunggal” dalam https://kbbi.web.id/dwitunggal , 30 September2017, 19.00
[2] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2008, 7
[3] Dianne Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002, 75
[4] David F. Hinson, Sejarah Israel pada zaman Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, 42
[5] Charles F. Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary, Chicago: Moody Bible Institute, 1962, 128
[6] Sikpan Sihombing, Pemimpin dan Kepemimpinan, Pematang Siantar: Perc. Syalom, 2017, 252
[7] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, 269
[8] J.R Hutauruk, Teologi dan Bahasa Figuratif, Medan: LAPiK, 2017, 48
[9] Luhut P. Hutajulu, Ephorus Gembala dan Pemimpin, http://hariansib.co/view/Headlines/131864/Ephorus-Adalah-Gembala-dan-Pemimpin.html, disadur pada 13 Nopember 2017, 19.30 WIB
[10] C. W. Z. Pakpahan, Makna Pentahbisan Pelayan Gereja, dalam buku C.W.Z Pakpahan dan Darwin Lumbantobing (peny), Gerak Persekutuan Eskhatologis, Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2002, 60
[11] Turman Sirait, Ephorus Pdt. Kasianus Sirait: Berjuang demi Kemandirian HKBP, Jakarta: PT. Elsotamas Printindo, 2005, 81
[12] Johan B. Pasaribu, Organisasi dan Manajemen HKBP, Jakarta: Yayasan Borbor, 2003, 7
[13] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 2
[14] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Tarutung: Kantor Pusat HKBP 2011, 189
[15] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 50
[16] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 52
[18] J. R. Hutauruk, Teologi dan Bahasa Figuratif, 27-28
[19] J. R. Hutauruk, Teologi dan Bahasa Figuratif, 28-30
[20] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 190
[21] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 6
[22] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 7-8
[23] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 7
[24] Johan B. Pasaribu, Organisasi dan Manajemen HKBP, 7
[25] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, 104
[26] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 7-8
[27] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,  101
[28] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 10
[29] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 189
[30]  J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 10
[31] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 189
[32] Darwin Lumbantobing, “Tegar dalam Badai , Teguh Mencipta Damai” dalam buku, Biografi, Figur dan Pandangan Teologis Ompui Ephorus Ds. G.H.M. Siahaan, Pematang Siantar: L-SAPA, 2005,106
[33] Darwin Lumbantobing, “Tegar dalam Badai , 107
[34] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 327-330
[35] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 11-12
[36] Darwin Lumbantobing, “Tegar dalam Badai , 127
[37] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 11-12
[38] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 14-15
[39] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 323
[40] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 323-333
[41] Darwin Lumbantobing, “Tegar dalam Badai , 170
[42] Notulen Sinode Godang HKBP 1988, 344
[43] Notulen Sinode Godang HKBP, 1988, 20
[44] Darwin Lumbantobing, HKBP is HKBP, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, 193
[45] Henk Ten Napel, Kamus Teologi Inggris-Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011, 82
[46] Riris J. Sagian, Sahala, Pematang Siantar: Lembaga Bina Warga HKBP, 2016, 41
[47] Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002 setelah amandemen kedua, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2015, 157
[48] HKBP, Barita Pangulaon, Berita Pelayanan Sekretaris Jenderal, kepala Departemen Koinonia, Marturia, dan Diakonia, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2008, 6