(Satu Studi Historis
Sistematis Terhadap Kemitraan Ephorus dan Sekjend, Implikasi TG 1950-1992)
I.
PENDAHULUAN
Dalam sistem kepemimpinan di HKBP kita pernah mendengar istilah
kepemimpinan Dwi-Tunggal. Istilah Dwi-Tunggal ini sendiri diartikan dengan
“pasangan yang sangat erat dan kokoh antara dua tokoh”[1] Hal ini menandakan adanya
2 tokoh, atau 2 orang sebagai satu pasangan yang menjadi pemimpin dalam satu
lembaga, atau persekutuan. HKBP mengenalnya sebagai Jabatan Ephorus dan
Sekretaris Jenderal. Hal ini pertama muncul pada Sinode Agung tahun 1950, dan
juga dalam Tata Gereja 1950 menentukan HKBP dipimpim oleh Ephorus dan dan
Sekretaris Jenderal sebagai pucuk pimpinan.[2]
HKBP dalam sejarah perkembangan HKBP, terjadi berbagai pergumulan
internal yang terjadi, terlebih konflik pada kemitraan pada pemangku Jabatan,
terutama pada Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan ini juga menjadi sumber dari
beberapa konflik yang terjadi di HKBP. Tentunya dari konflik-konflik yang
terjadi tersebut, membuat missi HKBP menjadi melemah dalam pelayanannya.
Maka dari itu, dalam tulisan ini, penulis ingin membahas mengenai
Kemitraan dari kedua jabatan ini dalam kepemimpinan di HKBP, dengan beberapa
penjelasan seperti makna dari jabatan tersebut, mempertimbangan tugas dan
wewenang dari kedua jabatan tersebut berdasarkan TG 1950-1992, dan juga melihat
fakta-fakta sejarah yang terjadi mengenai Kemitraan Kedua jabatan tersebut.
II.
PERMAHAMAN TERHADAP JABATAN EPHORUS DAN SEKJEND
2.1
Kajian Biblis
a.
Perjanjian Lama
Sistem Pemerintahan yang dwitunggal ini telah sebelumnya telah muncul
pada zaman Perjanjian Lama, yang dapat kita lihat pada cerita kisah Yusuf yang
diangkat Firaun menjadi penguasa (Kej. 41: 37-57). Meski diangkat menjadi
penguasa, tetapi tetaplah Firaun yang ada diatasnya.[3] Dalam kedudukannya itu
Yusuf berhasil menyelamatkan Mesir dari bahaya kelaparan yang melanda negeri
itu selama tujuh tahun lamanya, dan dengan demikian lebih meningkatkan
kekuasaan dan kewibawaan Firaun di
mata rakyatnya sendiri. Dalam hal ini Tuntunan Allah terhadap Yusuf membuatnya
diangkat menjadi penguasa untuk bertanggungjawab kepada Firaun sebagai orang
yang mengatur Kerajaan keseluruhan[4]. Karena Firaun percaya dan
mengenali Yusuf sebagai orang yang penuh dengan Roh Allah (ay.38), Firaun
mengangkat Yusuf menjadi pengatur tangan di Mesir serta menjadikannya Perdana
Menteri. Dia menempatkan Yusuf sebagai orang yang tertinggi di Mesir sesudah
dirinya sendiri. Dia memberikan cincin materainya kepada Yusuf sebagai tanda
kewenangan dan memberikan kuasa kepadanya untuk mengeluarkan keputusan-keputusan
yang resmi.[5]
b.
Perjanjian Baru
Dalam Jabatan Ephorus dan Sekjend, dalam Perjanjian baru,
disejajarkan dengan episkopos atau
Bishop, dimana kuasa keputusan dan kepemimpinan tertinggi berada di tangan
seorang episkopos. Episkopos sesuai
tradisi PB, jelas merupakan produk dunia jemaat mula-mula. Munculnya, jabatan
ini dalam tradisi jemaat mula-mula sangat didorong oleh kebutuhan akan
kepemimpinan untuk menghadapi segala rupa pengaruh kekafiran yang memang hidup
di tengah-tengah jemaat, sehingga mereka sangat membutuhkan pemimpin rohani
yang kuat di dalam jemaat-jemaat untuk menjaga kekudusan.[6]
2.2
Pandangan Teologis dan Tinjauan Ekklesiologi
a.
Pandangan Teologis Terhadap
Kedua Jabatan
Secara Teologi Menurut Andar Lumbantobing, Jabatan diberikan
kepada orang-orang khusus yang dipilih untuk memimpin gereja (Ephorus,
Sekretaris Jenderal, Praeses, dll) mereka memiliki kuasa tertentu berlandaskan
Firman Allah. Oleh karena itu, jabatan tersebut tidaklah diatas jemaat atau
pelayan lainnya, melainkan sebagai suatu hubungan timbal-nalik.[7] Kemudian, Dieter Becker
juga mengatakan, Jabatan itu hakikatnya dimengerti sebagai pelayanan dan bukan
sebagai kedudukan lebih tinggi, pemegang jabatan adalah hamba dan bukan tuan.
Otoritasnya tidaklah tergantung dari keberadaannya tetapi dari isi
pemberitaannya. Kemudian yang memegang jabatan bukan seorang yang luar biasa,
melainkan dari dia yang menyampaikan sesuatu yang luar biasa. Jabatan juga
harus dilihat terutama di dalam pengertian suatu fungsi, bukan sebagai suatu
posisi, yang memegang jabatan hanyalah satu dari banyak anggota Tubuh Kristus.[8]
b.
Tinjauan Ekklesiologi
Istilah “Ephorus” berasal dari bahasa Latin yang berasal ketua,
kepala, pemimpin. Tetapi yang sangkut-pautnya dengan akademis. Di kemudian hari
di dunia Kristen di Jerman mengambil istilah tersebut dan dipakai dalam arti
kepala gereja Kristen. Istilah ini juga dipakai RMG untuk menamai jabatan
kepala pekerja-pekerja zending di suatu daerah zending mereka di Sumatera.
Istilah ketua, praeses dan kepala sudah terlalu banyak dipakai di Barat, jadi
untuk mengkhususkan pengertian tentang jabatan mengepalai pekerjaan zending di
daerah lain, mereka mencari istilah Ephorus.[9]
Jabatan Ephorus adalah jabatan yang tertinggi dalam sistem
pemerintahan Episkopal, oleh karena itu banyak pendeta Batak yang menganggap
gelar tersebut prestisius, sebab Ephoruslah yang menaungi seluruh HKBP,
termasuk juga mengatur segala pendeta dan jemaat-jemaat.[10] Kepemimpinan Ephorus HKBP
bukan hanya terbatas pada masalah spiritual, melainkan juga meliputi banyak bidang
dan kelembagaan. Kepemimpinan Ephorus juga meliputi rumah sakit, dan bidang
pendidikan.[11] Kemudian,
jabatan “Sekretaris Jenderal” yang diperkenalkan pada Tata Gereja 1950,
dipercayakan untuk menangani Administrasi Pelayanan dan jemaat yang tesebar di seluruh
penjuru Indonesia, bahkan jemaat HKBP yang ada di Negara lain.[12]
Awal munculnya Jabatan Ephorus, dapat kita lihat pada Tata Gereja
1881, dimana Jabatan ini sebagai Jalan keluar untuk masalah cara mempersatukan
jemaat-jemaat HKBP secara organisatoris. Dari sini muncullah pertama kali
struktur gereja yang tersusun seperti kerucut, mulai dari jemaat setempat,
ressort, distrik dan sampai ditingkat teratas “Sinode Raya” Seluruh organisasi
gereja yang tersusun tersebut berada dibawah pelayanan seorang yang disebut
“Ephorus”, dan dari beberapa Praeses dipilihlah “Wakil Ephorus”.[13]
Pada masa pelayanan badan zending RMG (1861-1940), mengenai
penetapan siapa yang menjadi Ephorus adalah hak dan wewenang Pimpinan Pusat RMG
di Barmen, Jerman dan para penginjil utusan RMG di Tanah Batak. Tetapi sejak
1940 sampai sekarang pemilihan Ephorus berlangsung pada Sinode godang. Awal dari
sistem pemilihan Ephorus pada forum Sinode Godang adalah Sinode Godang istimewa
10-11 Juli 1940.[14]
Ephorus adalah pengurus dan wakil yang sah untuk mengendalikan segala milik
dari badan pekabar Injjil (RMG) yang berada dalam daerah pelayanannya. Semua
bangunan, yang dalam membangunnya dari uang Mission atau dari jemaat harus
mendapat persetujuan dari Ephorus.[15] Wakil Ephorus adalah
Praeses yang dipilih untuk mewakili Ephorus jangka waktu dua tahun melalui Konferensi
Sinodal. Tugas wakil Ephorus adalah untuk melaksanakan segalam tugas dan hak
Ephorus bila Ephorus berhalangan.[16]
2.3
Pemahaman Kristen Batak dengan sebutan Ephorus dan Ompu i
Seperti yang kita ketahui, penjabat Ephorus di HKBP digelari atau
disebut sebagai Ompui oleh jemaat Kristen Batak, dan ini juga yang membuat
jabatan Ephorus semakin prestisius di kalangan Pendeta Batak. Awal mula dan
latar belakang munculnya gelar ini, pada masa keberhasilan penginjilan
Nommensen di tanah Batak. Pada saat itu I.L
Nommensen pada tahun 1862 yang diutus badan misi pelayanan RMG untuk
penginjilan di Tanah Batak. Pada Tahun 1881 Nommensen diangkat menjadi Ephorus
oleh RMG, inilah jabatan Ephorus pertama di gereja HKBP. Tentunya peran
Nommensen dalam misi penginjilan di tanah batak ini mendapat apresiasi dari
bangso batak pada masa itu, hingga akhirnya para raja raja adat dan masyarakat
setempat memberi gelar Ompu, gelar kehormatan ini Mengsejajarkan Nommensen
dengan Si Singamangaraja.[17]
Gelar Ompu ini diciptakan oleh orang-orang
Kristen Batak yang kagum atas keberhasilan pekabaran Injil yang membawa
“Hamajuon” kepada kaum Batak, yang mengangkat harkat Batak dari keterbelakangan
ke era modernisasi. Semua kisah-kisah sukses zending berkulminasi pada gelar
kehormatan itu, yang barangkali dibaluri oleh budaya magis Batak, yang
tersimpan dalam ungkapan abadi yaitu “sahala”, semacam sifat atau karakter
“hasangapon” (kemuliaan), wibawa dan bahkan kekayaan dan banyak keturunan.
Secara kultural, setiap orang Batak menghargai dan menghormati ompungnya, yaitu
ayah dari ayah kandungnya, bukan hanya pada masa hidupnya, tetapi juga masa
kematiaannya, yaitu “sumangot”nya atau rohnya. Gelar “Ompu i” mendapat reaksi
atau kritik sejak 1970-an dan khususnya sejak tahun 2000-an. Ada yang
mempertahankannya, bahkan ada suara yang mengatakan supaya Ompui Ephorus
disejajarkan dengan Paus di Roma.[18]
Dalam sosok seorang Ephorus yang bergelar “Ompui”
tersirat ragam pandangan yang bermuatan mitos-mitos Batak yang Magis. Ini juga
dibarengi kerinduan agar kaum Batak punya figur agung ditengah masyarakat Batak
dan kaum sekitarnya, supaya kaum Batak itu dipandang sama mulianya dengan kaum
lain. Tentu bagi gereja HKBP tidak ada manfaatnya menteologikan gelar “Ompui” yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
jabatan Ephorus. Kalau kepada figur Ephorus di mata budaya dan emosi Batak,
gelar itu bebas bergerak kepada figur yang menjadi idola Batak. Sapaan
“Ompunta” misalnya selalu diberikan kepada Praeses Cyrellus Simanjuntak dari
Distrik Toba tahun 1950-ann -1970an. Pada simpul ini pula, tiada keharusan bagi
setiap warga jemaat dan para pelayan HKBP menyapa seorang Ephorus HKBP dengan
sapaan “Ompui” atau “Ompunta”.[19] Panggilan
“Ompui” mencerminkan ketokohan Ephorus sebagai figur kepemimpinan yang punya
otoritas tertinggi dalam melayanai, suatu otoritas melayani dan bukan dilayani.
Itulah sosok ke-Ephorusan yang ditampilkan dalam figur I.L Nommensen.[20]
III.
JABATAN EPHORUS DAN
SEKRETARIS JENDERAL
3.1
Tata Gereja 1940-1950 mengenai wewenang Ephorus dan siapa Wakil
Ephorus
Periode ini termasuk kepada periode gerakan kemandirian gereja,
dimana gerakan Pendeta Batak menuntut haknya untuk ikut memimpin HKBP. Dalam TG
1940, Kedudukan Ephorus sebagai pemimpin keseluruhan Gereja HKBP bersama-sama
dengan “Kerkkbestuur” (jadi dipimpin oleh Ephorus dan Kerkkbestuur). Dalam Tata
Gereja inilah awal penetapan Ephorus melalui Sinode Agung. Bukan lagi melalui
wewenang pimpinan pusat RMG di Barmen. Kemudian, yang semakin menandai
Kemandirian Gereja pada periode ini, adalah dimana pada Sinode Godang 10-11
Juli 1940 terpilih salah seorang putera batak yang pertama menjadi Ephorus
yakni Pdt. Kasianus Sirait.[21] Kemudian pada Tata Gereja
1950, muncullah jabatan baru dalam kepemimpinan, yaitu jabatan “Sekretaris
Jenderal”. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan yang dikemukakan, bahwa “HKBP
adalah kesatuan seluruh Distrik HKBP yang dipimpin oleh Sinode Godang, Ephorus
dan Sekretaris Jenderal dan Kerkkbestuur”.[22]
3.2
Tata Gereja 1950-1962 (Latar Belakang munculnya jabatan Sekjend,
Tugas, dan Kemitraannya dengan Ephorus)
Pada Tata Gereja 1950, muncullah jabatan baru dalam kepemimpinan,
yaitu jabatan “Sekretaris Jenderal”. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan
yang dikemukakan, bahwa “HKBP adalah kesatuan seluruh Distrik HKBP yang
dipimpin oleh Sinode Godang, Ephorus dan Sekretaris Jenderal dan Kerkkbestuur”.[23] Awal dari kemunculan
Jabatan ini dikarenakan seiring dengan semakin besarnya organisasi dan
perkembangan jumlah jemaat yang semakin banyak. Maka pada tahun 1950 pada
sidang Sinode Godang pemilihan pimpinan, HKBP memperkenalkan di dalam
organisasinya jabatan “Sekretaris Jenderal”, untuk menangani Administrasi
Pelayanan dan jemaat yang tesebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan jemaat HKBP
yang ada di Negara lain.[24] Selain itu juga, tugasnya
ialah memberi bantuan pemikiran dan tenaga buat tugas keephorusan sebagai
pimpinan teratas di HKBP.
Ada anggapan, tentang latar belakang pengadaan jabatan Sekjen ini
yaitu, mencegah agar Ephorus tidak serupa dengan Paus. Namun sebenarnya bukan
begitu yang menjadi alasan pokok pada ketentuan adanya jabatan Sekretaris
Jenderal. Yang menjadi persoalan yaitu, pada tahun 1950, ketika peraturan ini
disusun, orang-orang sepakat mengangkat seorang Ephorus dari kalangan pendeta
tua dengan anggapan sangat dihormati menjadi Ephorus. Namun waktu itu belum ada
dari kalangan pendeta tua yang memiliki gelar Sarjana Teologi. Oleh sebab itu,
orang-orang mengangkat seorang dari pendeta tamatan Sekolah Tinggi Theologia Jakarta
untuk mendampingi Ephorus, yang berfungsi sebagai Sekretaris Jenderal. Menurut
mereka Ephorus harus menjadi lambang, sedangkan Sekretaris Jenderal menjadi
tulang-punggunnya. Sistem “duokrasi” yang ditegakkan itu, yang terdiri dari
seorang pendeta tua yang tidak mempunyai pendidikan akademis sebagai Ephorus,
dan seorang Sekretaris Jenderal yang lebih muda dan mempunyai pendidikan
Teologi tinggi sudah jelas akan mudah berubah menjadi “monokrasi” kalau seorang
dari antara mereka, karena suatu alasan, terhalang untuk melakukan tugas
kewajibannya. Untuk mencegah terjadi kekuasan duokrasi atau monokrasi
ditetapakan, anggota-anggota Majelis Pimpinan Pusat dipilih untuk masa jabata
empat tahun, termasuk Ephorus dan Sekretaris Jenderal.[25]
Mengenai tugas dari Kemitraan Ephorus dan Sekjend dapat kita lihat
pada TG 1950, mengenai ketentuan dalam memilih dan menetapkan kedua jabatan
ini. Dimana Ephorus dan Sekjen dipilih melalui Sinode Godang dengan jangka
waktu setiap 4 tahun sekali. Ephorus dan Sekjen terpilihlah yang memimpin
seluruh HKBP termasuk manguluhon Sinode Godang dan Rapat Kerkbestuur. Dari
sinilah muncul kepemimpinnan dwi-tunggal.[26] Tugas utama keduanya
menurut TG 1950: “merekalah yang menetapkan cara kerja untuk semua pejabat HKBP
dan memutuskan segala persoalan yang diajukan kepada pimpinan gereja setelah
mendengar pendapat para praeses dan anggota-anggota majelis pusat”. Uraian
tugas ini jelas memberi pengertian bahwa kepada Ephorus dan Sekretaris
dipercayakan hak dan kekuasaan yang sangat besar soal-soal kepemimpinan.[27]
Tetapi pada TG 1962 tidak lagi mempertahankan dwi-tunggal. Ini
terlihat dari adanya pergeseran tugas kepemimpinan di tingkat paling atas,
antara Ephorus dan Sekjend, dimana Kepemimpinan HKBP dilimpahkan sepenuhnya
kepada Ephorus. Sedangkan tugas dari Sekretaris Jenderal yaitu : Laho
mandalanhon angka sihobasan di HKBP diandonghon HKBP do parhobasna na niuluhon ni Sekretaris Jenderal, na
pinillit ni Sinode Godang. . .”. Tetapi bila Ephorus berhalangan, Sekretarsi
Jenderal menjadi wakilnya. Tugas Kemepimpinan Ephorus sebagian besar diserahkan
kepada Sekretaris Jenderal dalam bidang kegiatan-kegiatan yang diemban beberapa
seksi. Dengan demikian, Ephorus mempunyai peluang banyak mengatur pelayanan
gereja di dalam dan diluar dirinya; pelayanan yang diwarnai oleh unsur
teologis, pastoral, dan praktis.[28]
3.3
Tata Gereja 1962-1972 dan Situasi Umum yang Terjadi
Tata Gereja 1950, memunculkan jabatan baru, yaitu Sekretaris
Jenderal. Wewenang kepemimpinannya setara dengan Ephorus. Pada Sinode Godang
1950 mengemukakan istilah “Pucuk Pimpinan”
HKBP yang menunjuk pada jabatan Ephorus dan Sekjend. Pandangan tentang
dwi-tunggal antara Ephorus dan Sekjen berubah dalam tata gereja 1962 dengan
mencantumkan pembagian tugas.[29] Dalam Tata Gereja 1962,
ada pergeseran tugas kepemimpinan di tingkat paling atas; antara Ephorus dan
Sekretaris Jenderal (berbeda dengan Tata Gereja 1950). Tata Gereja 1962 tidak
lagi mempertahankan dwi-tunggal antara kedua jabatan tersebut, tetapi
melimpahkan kepemimpinan HKBP kepada Ephorus, jadi kembali ke Tata Gereja 1930.[30] Ephorus memimpin seluruh
HKBP dan Sekjen memimpin pengelolaan unit-unit pelayanan yang disebut seksi yang
kemudian Tata Gereja 1972 disebut Departemen. Dengan demikian sejak Tata Gereja
1962, Sekjen dalam proses kepemimpinan HKBP secara menyeluruh berada di bawah
Ephorus. Komposisi ini tetap diterapkan dalam Tata Gereja 1982 dan Tata Gereja
1994.[31]
Dalam konteks masa tahun 1962 ini, HKBP terjadi konflik yang
disebabkan kemitraan dari kedua jabatan tersebut. Seharusnya tahun 1940 merupakan
saat yang menentukan bagi gereja HKBP merampungkan
langkah pertamanya menuju kemandirian (dalam kepemimpinannya) yang sepenuhnya.
Namun, hingga masa akhir kepemimpinan Dr. J. Sihombing (1962) gereja HKBP masih
belum mewarnai sejarahnya dengan konflik internal terhadap soal pergantian
jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan bila tahun 1942, para utusan
zending Belanda masih berusaha menduduki/merebut jabatan tertinggi di dalam
gereja, melaluinya mereka masih mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka
sendiri mengenai struktur dalam gereja. Dari hikmat ini dapat disimpulkan bahwa
seteru konflik pendeta Batak terhadap kekuasaan adalah berasal dari para pendeta
di luar orang Batak sendiri.[32]Ada indikasi nampaknya perseteruan dan
konflik awal di kalangan para pendeta serta orang Kristen Batak tentang
kekuasaan gereja, ini sangat dipengaruhi oleh rumusan TG 1962-1972 (konseptor utamanya ialah Sekretaris Jenderal
HKBP Ds. T.S. Sihombing) yang faktanya TG ini adalah “hasil konsep dan rumusan pertama pendeta
Batak itu sendiri”. Sampai tahun
1962, HKBP masih memakai TG 1920-1932 yang diperpanjang masa berlakunya walau
kemudian menyebutnya sebagai TG
1940-1950 dan seterusnya berlaku sampai tahun 1962.[33]
Sebagai acuan penyelenggaraan Sinode Godang HKBP 1962, Tata Gereja
1962-1972 (TG ini ditetapkan pada bulan Juni 1962) adalah merubah dan
mengurangi peran kasbestur dan penatua dalam jemaat. Sebagai konseptor utama
Tata Gereja 1962 diduga adalah Ds. T.S. Sihombing yang terpilih menjadi Ephorus
HKBP dan Ds. G.H.M.Siahaan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal memimpin HKBP
periode 1962 – 1968. Ketegangan HKBP melalui SG 1962 ternyata tidak berakhir
hanya pada saat itu. Sementara ketegangan dalam gereja terus berlanjut,
mengenai Surat Keputusan (SK) mutasi beberapa orang pendeta nyata mempertajam
konflik internal dalam gereja. Ketika sebagian besar pendeta yang dimutasikan
memilih tidak mentaati SK Ephorus sebagai pimpinan, pemecatan para pendeta (17
Maret 1963) menjadi babak dan warna baru bagi corak kepemimpinan itu. Akibat
dari keadaan ini, konflik berkepanjangan terus berlangsung di dalam tubuh HKBP.[34]
3.4
Tata Gereja 1972-1982
Dalam Tata gereja ini ditegaskan, tentang Sekretaris Jenderal yang
disebut untuk membantu Ephorus dalam menjalankan segala pelayanan di HKBP,
karena Ephorus merupakan Pemimpin HKBP secara keseluruhan. Dengan rumusan ini,
pandangan dwi-tunggal yang tersirat dalam panggilan umum “Pucuk Pimpinan” pada
satu pihak dihindarkan dan pada pihak lain dipertajam batasan fungsi
masing-masing serta menekankan kerjasama yang utuh. Kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas dan pada relasi semakin dituntut dalam bidang
kepemimpinan HKBP.[35]
Setelah Ds. G.H.M Siahan terpilih menjadi Ephorus melalui Sinode
Godang HKBP 1974, tahun 1976 ia menginformasikan kepada sidang Sinode Godang
melalui laporan tahunannya (Barita Jujur Taon Ephorus 1976), yang
menyatakan bahwa dirinya “tidak akan bersedia lagi memimpin Rapat Majelis
Pusat, bila tidak ada perubahan yang terlihat”. Pernyataan ini semakin diperjelas oleh pernyataan
Siahaan lainnya mengatakan: “…na so sada tondi na manggomgomi ahu dohot
Parhalado Pusat-roh yang mendiami saya tidak satu dengan Majelis Pusat”.
Melalui ungkapan ini, perselisihan semakin mewaris/terungkap di HKBP. Bila
tidak bersedianya Ds. G.H.M. memimpin rapat Majelis Pusat dan sikap ini
didorong oleh dua alasan: pertama, secara organisasi Majelis Pusat merupakan
pengontrol ke dua dalam kepemimpinan HKBP, ini berarti banyak rapat dan
keputusan Majelis Pusat yang tidak diketahui Ds. G.H.M Siahaan sebagai Ephorus
yang menurut para angota Majelis Pusat ketika itu, Ephorus jangan mengacaukan
keputusan-keputusan mereka. Kedua, penghayatan iman Ds. G.H.M Siahan memahami
tidak berada di dalam satu roh yang sama
(…ndang sa tondi) dengan Majelis Pusat. Pada akhirnya, pernyataan Ds. G.H.M
Siahaan ini memancing munculnya percapakan, diskusi-diskusi serta
seminar-seminar di HKBP untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan: “hamaolon-kemelut
HKBP dan apa artinya Roh dan pelayanan dalam HKBP”. Jadi dapat
dikatakan bahwa uraian ini hendak memaparkan bentuk dan corak kepemimpinan HKBP
menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya dalam menciptakan
suasana yang kondusif bagi pelayanan, ibadah dan persekutuan dengan sesama juga
dengan Tuhan ke masa selanjutnya HKBP.[36]
3.5
Tata Gereja 1982-1994 dan Situasi yang terjadi
Dalam Tata gereja ini ditegaskan, tentang Sekretaris Jenderal yang
disebut untuk membantu Ephorus dalam menjalankan segala pelayanan di HKBP,
karena Ephorus merupakan Pemimpin HKBP secara keseluruhan. Dengan rumusan ini,
pandangan dwitunggal yang tersirat dalam panggilan umum “Pucuk Pimpinan” pada
satu pihak dihindarkan, dan pada pihak lain dipertajam batasan fungsi
masing-masing, serta menekankan kerjasama yang utuh. Kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas dan pada relasi semakin dituntut dalam bidang
kepemimpinan HKBP.[37]
Pada Tata gereja ini juga, Kedudukan atau posisi Ephorus masih
dipertahankan sebagai pimpinan tertinggi di HKBP. Namun Rumusan kedudukan atau
posisi Sekretaris Jenderal dalam sistem kepemimpian mendapat perubahan, namun
perubahan itu memungkinkan interpretasi jamak. Dimana Tata Gereja 1982, Ephorus
dalam menjalankan pelayanannya, dibantu oleh Praeses, Kepala Biro, dan Pimpinan
Departemen yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Dalam posisinya pun,
Sekretaris Jenderal berada di bawah posisi Ephorus sebagai penerima laporan
pertanggungjawaban tugas dari Sekretaris Jenderal.[38]
Jabatan Ephorus dan Sekjen HKBP periode 1978-1986 dipangku oleh
Ds. G. H. M Siahaan dan Ds P.M Sihombing, M.Th. Pada beberapa periode
sebelumnya pernah terjadi bahwa menduduki jabatan Sekjen sebagai langkah ampuh
untuk terpilih menjadi Ephorus. Pada tahun 1986 diadakan Sinode Godang di
Sipoholon Tarutung untuk memilih fungsionaris baru. Dimunculkan dua calon untuk
dipilih menjadi Ephorus, yaitu Ds. P. M. Sihombing dan Pdt. Dr. S. A. E.
Nababan. Setelah pemungutan suara, yang terpilih menjadi Ephorus untuk periode
1987-1992 adalah Pdt. S.A.E. Nababan dan Sekjennya adalah Pdt. O.P.T. Simorangkir.
Selama periode ini banyak program kerja yang dilaksanakan untuk memajukan HKBP
menghadapi era Globalisasi.[39]
Namun sejak pertengahan tahun 1987 mulai muncul konflik internal
di HKBP karena pimpinan HKBP merestui safari penginjilan Tim Evangelisasi
Nehemia (TEN) dari Jakarta ke Tapanuli. Sekelompok kecil Pendeta HKBP yang
dinamai “kelompok sebelas” mengkritisi kehadiran dan cara pelaksanaan TEN yang
dinilai bernuansa Kharismatik. Beberapa tokoh Batak dari Jakarta yang perduli,
berkontribusi untuk meredakan dan menyelesaikan konflik internal HKBP. Tetapi
konflik internal HKBP semakin menajam karena kemitraan kerja di antara Ephorus
dan Sekjen saat itu tidak terjalin secara baik. Konflik semakin memanas pada
akhir periode kepemimpinan HKBP 1987-1992.[40]
Dapat dikatakan bahwa akumulasi perselisihan masa periode ini diawali
dari sikap tidak terima Ds. P.M. Sihombing atas kekalahannya untuk memimpin
HKBP (sebagai Ephorus) periode 1986-1992. Nyatanya, sikap ini sangat mempengaruhi
dirinya membentuk kelompok sendiri dan menolak kepemimpinan Pdt. Dr. S.A.E.
Nababan. Gerakan dan aksi kelompok ini semakin menguat ketika kelompok lain
yang menamakan diri “parretreat” muncul.[41] Menurut laporan pelayanan
tahunan Ephorus HKBP pada Sinode Godang 1988
Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, kelompok ini lahir saat sebagian pendeta HKBP
mengadakan retreat di Parapat tanggal 16 Maret 1988 di mana retreat
ini berlangsung tanpa sepengetahuan dan persetujuan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan
sebagai Ephorus HKBP.[42]
Bagi Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan kegiatan dan aksi kelompok ini (parretreat)
telah mempermalukan wibawa dam kuasa kepemimpinan gereja melalui disebarkannya
brosur berisi surat agong (surat kaleng) ke berbagai media massa yang
menjatuhkan nama Ephorus. Padahal
gereja sudah memiliki sistem dan dinamika sendiri untuk mencari dan mengambil
keputusan terhadap penyelesaian setiap permasalahannya. Pada akhirnya
jalan keluar yang ditempuh Sinode Godang HKBP 1988 untuk menyelesaikan masalah
“parretreat”,
ini ditempuh dengan dua cara. Bagi mereka yang bersedia meminta maaf (5 orang
Pdt, 1 orang Sintua) diterima kembali sebagai pelayan di dalam gereja, namun
bagi mereka yang tidak bersedia meminta maaf (21 orang Pdt, 9 orang Sintua) “tohonan
hapanditaon” (jabatan kependetaan) ditarik dan dikeluarkan (dipecat) dari
pelayanan gereja.[43]
Kemudian pada Tata gereja 1994, setelah adanya jabatan Sekretaris
Jenderal, dijelaskan situasi dan masalah yang terjadi. Dimana Konflik terjadi
di kalangan Pimpinan Pusat HKBP (Ephorus, Sekjen, Majelis Pusat dan Praeses)
telah menghadapkan HKBP pada situasi yang mengarah pada konflik dan perpecahan
di antara jemaat-jemaat HKBP yang pada akhirnya meruntuhkan sistem
pengorganisasian kegerejaan itu mulai dari pusat hingga ke jemaat-jemaat
setempat. Gambaran kepemimpinan dwitunggal antar Jabatan Ephorus dan Sekretaris
Jenderal yang paling meresahkan dan bahaya adalah kepemimpinan periode
1974-1980 (Ephorus Ds. G. H.M Siahaan dan Sekretaris Jenderal Pdt. Dr. Frans
Sianipar) dan periode 1987-1993 (Ephorus Pdt. Dr. SAE Nababan dan Sekretaris
Jenderal Pdt. OTP Simorangkir). Bahkan ketika sinode Agung Istimewa, di Tiara
Hotel, Medan 11 Februari 1993, berhasil memilih Pdt. Dr. PWT Simanjuntak
sebagai Ephorus dan Pdt. Dr. S.M Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal, hubungan
mereka hanya sebentar sebagai dwitunggal, selanjutnya menjadi dua pemimpin yang
saling tarik-menarik. Kondisi kepemimpinan yang dualistis tersebut merupakan
pengalaman buruk di HKBP, dan menjadi salah satu unsur yang melatarbelakangi
pemikiran yang bersifat kolegial, hal itulah kemudian di tampung pada AP 2002.[44]
3.6
Tata Gereja 2002-2012 dan Kepemimpinan Ephorus dan Sekjen pada
Sistem Kolegial
Istilah kolegial adalah
kata sifat, yang artinya bersifat seperti teman sejawat (sepekerjaan) atau
akrab. Dan bila dihubungkan dengan sistem kepemimpinan, istilah kolegial ini dicirikan sebagai bentuk
pembagian kuasa/ kekuasaan kepada yang lain secara bersama-sama.[45] Kepemimpinan Kolegial di
HKBP secara luas diatur dalam Tata Gereja 2002 terutama ditingkat pusat. Dalam
tradisi budaya Batak, pemimpin itu adalah seseorang yang mempunyai sahala (spiritual yang unggul) dan mampu
menunjukkan kemampuanya dalam dunia magis. Menjalankan hukum secara adil dan
mampu bersikap tegas dalam mengambil keputusan.[46]
Kepemimpinan Kolegial di tingkat Pusat yaitu meliputi lima unsur
pimpinan yaitu Ephorus Sekretaris Jenderal, 3 Kepala Departemen yang meliputi
pelayanan Koinonia, Diakonia, Marturia. Namun tetap saja Ephorus sebagai pimpinan
tertinggi karena setiap Kepala Departemen dan Sekretaris Jenderal dalam
melaksanakan tugas-tugasnya selalu membuat laporan dan pertanggungjawaban
kepada Ephorus. Selain itu juga, dalam Rapat Pimpinan dapat kita lihat bahwa
Ephorus sebagai Pimpinan tertinggi di HKBP, dimana Dalam Tata Dasar dan Tata
Laksana HKBP 2002, ada rapat di tingkat pusat yang disebut “Rapat Pimpinan” dan
ini dipimpin oleh Ephorus, dimana anggotanya adalah Sekjen, Kadep Koinonia,
Diakonia, dan Marturia dengan waktu sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan.[47]
Setelah bertambahnya jabatan pada Kepemimpinan HKBP di pusat, dan
supaya kita dapat melihat kelanjutan dari Kemitaraan Ephorus dan Sekjen ini,
akan kita lihat dalam Aturan dan peraturan 2002-2012 yang menjabarkan beberapa
tugas dari Ephorus dan Sekjen dalam Kepemimpinan HKBP :
a. Tugas Ephorus
- Mendoakan
dan menggembalakan jemaat-jemaat dan pelayan-pelayan di segenap HKBP.
- Melaksanakan
pembinaan terhadap pelayanan-pelayan tahbisan dalam rangka upaya
meningkatkan kemampuan mereka melaksanakan tugas-tugas pelayanannya,
terutama dalam pelayanan firman dan penggembalaan.
- Memelihara
dan menyuarakan tugas kenabian HKBP terhadap pemerintah atau penguasa
melalui kata-kata maupun perbuatan nyata untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan ditengah-tengah Bangsa dan Negara.
- Mewakili
HKBP terhadap Pemerintah, Gereja dan badan-badan lain di dalam maupun di
luar negeri.
- Memimpin
segenap HKBP dibantu oleh Sekretaris Jenderal dan Kepala Departemen
berdasarkan Alkitab, Konfessi, Aturan Peraturan dan RPP sebagai
manifestasi kepatuhannya kepada Yesus Kristus, Raja Gereja. Ephorus dapat
medelegasikan wewenang melaksanakan tugas-tugas tertentu kepada Sekretaris
Jenderal, Kepala Departemen atau Praeses, atau anggota Majelis Pekerja
Sinode sesuai dengan kebutuhannya.
b. Tugas Sekjen
- Menyertai dan membantu Ephorus
memimpin HKBP bersama-sama dengan Kepala Departemen.
- Melaksanakan administrasi gereja
yang baik sesuai dengan pedoman penatalayanan HKBP.
- Mewakili Ephorus melakukan
tugas-tugas yang diberikan oleh Ephorus sesuai dengan kebutuhannya.
- Menerima laporan pelayanan dari
organ-organ pelayanan di bawahnya.
- Bersama-sama dengan Kepala
Departemen membantu Ephorus menyusun Berita Pelayanan untuk disampaikan
kepada Rapat Majelis Pekerja Sinode dan laporan pertanggungjawaban untuk
disampaikan kepada Sinode Agung.
Pada sistem kepemimpinan Kolegial ini, Ephorus tidaklah lagi hanya
bermitra pada Sekjen tetapi juga dengan 3 Kepala Departemen. Namun untuk dapat
melihat paradigma peran baru Sekretaris Jenderal di HKBP pada masa ini, maka
telah diadakan strukturisasi dan koordinasi dari banyak Departemen dan Biro di
periode yang lalu, menjadi pendukung pelayanan umum HKBP, supporting system bagi seluruh pelayanan 3 departemen dan koordinator
distrik. Tetapi karena berbagai hal, maka ada pula beberapa tugas tambahan dan
pengurangan pelayanan yang harus dilakukan ke masa depan yang membutuhkan
uraian tugas yang jelas dan pasti secara otorisas mengkordinir pelayanan di
fungsi Sekretaris Jenderal. Pada awal periode ini telah diadakan strukurisasi
dan melakukan peningkatan kapasitas staf di semua struktur. Kegiatan-kegiatan
yang dikoordinasi Sekretaris Jenderal , menyangkut:[48]
- Pelayanan Umum dan Pelayanan
Kejemaatan
- Penataan Kepersonaliaan HKBP
- Disseminasi informasi pelayanan sebagai
pendukung program ketiga Departemen di HKBP
- Penataan administrasi umum di HKBP
- Penataan Keuangan umum, sistem
pengawasan HKBP
- Penataan dan pengembangan program
Kemandirian HKBP, serta jaringan kemitraan dalam dan luar negeri
- Bantuan Hukum bagi jemaat karena
persoalan kepemilikan tanah, dll.
IV.
ANALISA, KRITIK DAN SARAN
4.1
Analisa
Gereja HKBP merupakan hasil dari perjuangan para Missionaris yang
datang ke tanah Batak untuk menyampaikan Injil kepada orang-orang yang belum
percaya kepada Firman Allah. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak
masyarakat Batak yang mulai percaya kepada Firman Allah. Dari banyaknya orang
Batak yang menjadi Kristen, disini HKBP mulai membentuk Struktur Organisasi
yang ditandai dengan adanya Kepemimpinan yang diserahkan kepada Ephorus sebagai
pemimpin tertinggi. Ephorus sendiri diutus dari badan Zending RMG. Hal ini dimaksud
untuk menjaga kesatuan dari jemaat Kristen itu sendiri sebagai daerah
penginjilannya. Namun pada tahun 1940, mulai gerakan dari masyarakat Batak
menuju kepada Kemandirian Gereja, dimana Jemaat Kristen Batak bersikeras untuk
membentuk Gereja HKBP yang berdaulat. Gerakan ini menghasilkan Ephorus pertama
dari Pendeta Batak yaitu Pdt. Kasianus Sirait. Ini dikarenakan oleh Konflik
antara masyarakat Batak dengan pemerintahan zaman Kolonial Belanda.
Kemudian, Pada tahun 1950 melihat Gereja HKBP yang baru Mandiri,
maksud lain dari Sinode Godang memunculkan Jabatan Sekretaris Jenderal di HKBP,
membantu Ephorus untuk mengambil langkah awal membangun expansi pelayanan,
Administrasi, dan dari seluruh segi kehidupan masyarakat. Disamping itu juga
disebabkan jumlah jemaat HKBP yang semakin banyak, Jabatan ini membantu Ephorus
untuk membantu memaksimalkan Pelayanan HKBP dengan berbagai program yang
dibentuk, dengan pertanggungjawaban terhadap Ephorus. Kemudian adanya
pergerseran posisi pada Tata Gereja 1962, dimana Ephrous menjadi pemimpin penuh
di HKBP, namun melimpahkan sebagian Tugasnya kepada Sekretaris Jenderal.
Pergesaran ini penulis melihat, bukan karena adanya pergesekan atau konflik,
tetapi adanya maksud untuk mengembangkan sayap HKBP dengan gereja lain, dan
tetap membina atau mengembangkan pelayanannya di dalam. Ini telihat dari tugas
Sekjen untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan melalui beberapa seksi dalam HKBP
untuk menjawab permasalahan yang terjadi mengenai pemanfaatan potensi-potensi
yang ada di kaum pelayan dan jemaat, dan Ephorus bekerja diluar gereja, untuk
membangun relasi-relasi dengan gereja lain.
Namun seiring perkembangan HKBP, Jabatan Ephorus dan Sekretaris
Jenderal ini penulis melihat bahwa ada pergeseran makna Jabatan keduanya. Yang
mana penggembalaan menjadi penguasaan. Oleh sebab itu penulis juga melihat
bahwa jabatan Sekretaris Jenderal dirubah posisi yang awalnya sejajar dengan
Jabatan Ephorus dan dirubah menjadi wakilnya Ephorus. Selain itu, Kedua Jabatan
ini juga menjadi sumber dari konflik yang terjadi. Ini disebabkan karena
Jabatan Ephorus dan Sekjen yang prestisius bagi orang Batak. Sehingga banyak
melakukan berbagai cara termasuk memasukkan politik dalam pemilihan Ephorus dan
Sekjend.
Dalam rumusan Tata Gereja HKBP 1972-1982 masih diperoleh
kesan tentang semacam “semangat etnisitas” Batak yang khas, tercermin dalam
kalimat “pardomuan ni halak Kristen Batak Protestan” (persekutuan orang Kristen
Batak Protestan). Tetapi semangat yang sedemikian, secara eksplisit tidak
terlihat lagi dalam Tata Gereja HKBP 1982-1992 dan Tata Gereja HKBP 2002,
tetapi dengan spesifik menyebut “seluruh Indonesia”. Hal ini
menggambarkan kesan semacam “semangat nasionalisme”. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dalam formulasi Tata Gereja 1972-1982 masih terasa dimensi HKBP
sebagai “gereja etnis”, sedangkan HKBP dalam versi Tata Gereja 1982-1992 dan
Tata Gereja 2002 sudah menyatakan diri bukan lagi gereja etnis tetapi cenderung
lebih menonjolkan ciri nasionalisme.
Pada periode selanjutnya, terutama di Sistem Kepemimpinan yang
bersifat Kolegial, ada tuntutan bahwa HKBP dalam menjalankan tugas pelayan dengan
corak dan model kepemimpinannya harus bersikap inklusif, terbuka dan dialogis.
Karena setiap corak dan model dan bentuk kepemimpinan gereja yang diterapkan
selalu ada plus dan minusnya. Sehingga seturut perkembangan pelayanan gereja di
masa depan, terus mencari hingga akhirnya merealisasikan model dan bentuk
kepemimpinannya yang ideal.
4.2
Kritik
Gereja HKBP memang merupakan suatu organisasi yang memangku
tanggungjawab pelayanan kepada Jemaat. Dulu Kedua Jabatan ini (Ephorus dan
Sekjen) dihadirkan karena perkembangan jemaat yang pesat dan untuk
mengembangkan pelayanan terhadap jemaat melalui kerjasama atau Kemitraannya.
Namun kini, kita lihat bagaimana Jabatan itu dikalangan Pendeta bahkan jemaat
diberbagai gereja dipandang sebagai kekuasan, dengan macam-macam tujuan baik
itu buruk atau tidak, baik untuk pribadi atau untuk komunal. Terkadang Pendeta
sekarang lupa dengan makna dari tohonannya yang diberikan Allah kepadanya
sebagai suatu mandat atau tanggungjawab untuk melayani Tuhan. Kemudian, Jabatan
tidaklah lagi dianggap sebagai pemberian dari Tuhan atau dianggap sebagai
panggilan Allah, namun sekarang dianggap sebagai prestasi yang harus di kejar,
entah itu dengan cara yang baik atau tidak.
4.3
Saran
Sebagai umat Allah, terutama sebagai pelayan (pendeta) layaklah
kita untuk melaksanakan tugas-tugas atau mandat yang telah kita terima melalui
Tohonan. Sekalipun ada jabatan yang kita miliki, itu bukanlah kekuasaan
melainkan panggilan Allah terhadap kita untuk menerima tanggungjawab dan
pelayanan yang lebih besar lagi bagi masyarakat. Dan dalam menggunakan Jabatan
agar tidak semena-mena, melainkan kita jalankan tugas sebagai tanggunjawab kita
kepada Allah.
V.
KESIMPULAN
Ephorus adalah kepala yang memimpin seluruh HKBP,dan Sekretaris
Jenderal adalah rekan Kerja Ephorus dalam kepemimpinan di HKBP. Kemitraan Kerja
Ephorus dan Sekjen, bermula dari Tata Gereja 1950, dimana awal dari Jabatan
Sekjen muncul. Berbagai tugas dan wewenang dari kedua Jabatan mengalami
pergeseran dari selama periode Tata Gereja yang berlangsung. Diadakannya Kedua
Jabatan ini dengan tugas dan wewenang diembannya, diharapkan dapat menjadi
figur pemimpin yang dapat mengembangkan dan menjawab berbagai kemelut
permasalahan yang dihadapi Gereja. Namun pada perjalanan HKBP sendiri, justru
Kemitraan kedua Jabatan ini menjadi sumber dari masalah di HKBP, dimana itu
berdampak buruk bagi pelayanan jemaat. Dari sini kita harus dapat memahami
Jabatan bukan sebagai kekuasaan melainkan pelayanan, dan harus mengutamakan
kepentingan bersama di jemaat.
DAFTAR PUSTAKA
Bergant, Dianne,
Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Hinson, David
F., Sejarah Israel pada zaman Alkitab,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
HKBP,
Barita Pangulaon, Berita Pelayanan
Sekretaris Jenderal, kepala Departemen Koinonia, Marturia, dan Diakonia, Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 2008.
Hutauruk, J.
R., Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus, Tarutung: Kantor Pusat HKBP 2011.
Hutauruk, J.
R., Menata
Rumah Allah, Tarutung: Kantor Pusat HKBP,2008.
Hutauruk, J.R,
Teologi dan Bahasa Figuratif, Medan:
LAPiK, 2017.
Lumbantobing,
Andar M. , Makna Wibawa Jabatan Dalam
Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Lumbantobing,
Darwin, HKBP is HKBP, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Lumbantobing,
Darwin, “Tegar dalam Badai , Teguh Mencipta
Damai” dalam buku, Biografi, Figur dan Pandangan Teologis Ompui Ephorus Ds.
G.H.M. Siahaan, Pematang Siantar: L-SAPA, 2005.
Notulen
Sinode Godang HKBP 1988.
Notulen Sinode
Godang HKBP, 1988.
Pakpahan, C.
W. Z. , Makna Pentahbisan Pelayan Gereja,
dalam buku C.W.Z Pakpahan dan Darwin Lumbantobing (peny), Gerak Persekutuan
Eskhatologis, Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2002.
Pasaribu, Johan
B, Organisasi dan Manajemen HKBP,
Jakarta: Yayasan Borbor, 2003.
Pfeiffer, Charles
F, The Wycliffe Bible Commentary,
Chicago: Moody Bible Institute, 1962.
Sagian,
Riris J, Sahala, Pematang Siantar: Lembaga Bina Warga HKBP, 2016.
Sihombing, Sikpan,
Pemimpin dan Kepemimpinan, Pematang Siantar:
Perc. Syalom, 2017.
Sirait, Turman,
Ephorus
Pdt. Kasianus Sirait: Berjuang demi Kemandirian HKBP, Jakarta: PT.
Elsotamas Printindo, 2005.
Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP
2002 setelah amandemen kedua, Tarutung: Kantor
Pusat HKBP, 2015.
Ten
Napel, Henk, Kamus Teologi
Inggris-Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011.
Sumber
Internet :
Luhut P.
Hutajulu, Ephorus Gembala dan Pemimpin,
http://hariansib.co/view/Headlines/131864/Ephorus-Adalah-Gembala-dan-Pemimpin.html
[2] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, Tarutung: Kantor
Pusat HKBP, 2008, 7
[3] Dianne Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,
Yogyakarta: Kanisius, 2002, 75
[4] David F. Hinson, Sejarah Israel pada zaman Alkitab,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, 42
[5] Charles F. Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary, Chicago:
Moody Bible Institute, 1962, 128
[6] Sikpan Sihombing, Pemimpin dan Kepemimpinan, Pematang
Siantar: Perc. Syalom, 2017, 252
[7] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, 269
[8] J.R Hutauruk, Teologi dan Bahasa Figuratif, Medan:
LAPiK, 2017, 48
[9] Luhut P. Hutajulu, Ephorus Gembala dan Pemimpin, http://hariansib.co/view/Headlines/131864/Ephorus-Adalah-Gembala-dan-Pemimpin.html,
disadur pada 13 Nopember 2017, 19.30 WIB
[10] C. W. Z. Pakpahan, Makna Pentahbisan Pelayan Gereja, dalam
buku C.W.Z Pakpahan dan Darwin Lumbantobing (peny), Gerak Persekutuan
Eskhatologis, Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2002, 60
[11] Turman Sirait, Ephorus Pdt. Kasianus Sirait: Berjuang demi
Kemandirian HKBP, Jakarta: PT. Elsotamas Printindo, 2005, 81
[12] Johan B. Pasaribu, Organisasi dan Manajemen HKBP, Jakarta:
Yayasan Borbor, 2003, 7
[13] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 2
[14] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus, Tarutung: Kantor Pusat HKBP 2011, 189
[15] J. R. Hutauruk, Menata Rumah
Allah, 50
[16] J. R. Hutauruk, Menata Rumah
Allah, 52
[17] Disadur dari http://marulaksinurat.blogspot.co.id/2016/10/masih-relevankah-ephorus-disebut-dengan.html,
pada 13 Nopember 2017, 19.40 WIB
[18] J. R. Hutauruk, Teologi dan Bahasa Figuratif, 27-28
[19] J. R. Hutauruk, Teologi dan Bahasa Figuratif, 28-30
[20] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus, 190
[21] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 6
[22] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 7-8
[23] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 7
[24] Johan B. Pasaribu, Organisasi dan Manajemen HKBP, 7
[25] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,
104
[26] J. R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 7-8
[27] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,
101
[28] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 10
[29] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus, 189
[30] J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, 10
[31] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus, 189
[32] Darwin Lumbantobing, “Tegar dalam Badai , Teguh Mencipta Damai” dalam buku, Biografi, Figur dan Pandangan
Teologis Ompui Ephorus Ds. G.H.M. Siahaan, Pematang Siantar:
L-SAPA, 2005,106
[34] J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam
Kristus, 327-330
[35] J.R. Hutauruk, Menata
Rumah Allah, 11-12
[37] J.R. Hutauruk, Menata
Rumah Allah, 11-12
[38] J.R. Hutauruk, Menata
Rumah Allah, 14-15
[39] J. R. Hutauruk, Lahir,
Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 323
[40] J. R. Hutauruk, Lahir,
Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, 323-333
[42] Notulen Sinode Godang HKBP 1988, 344
[43] Notulen Sinode Godang HKBP, 1988, 20
[44]
Darwin Lumbantobing, HKBP is HKBP,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016, 193
[45]
Henk Ten Napel, Kamus Teologi
Inggris-Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011, 82
[46]
Riris J. Sagian, Sahala, Pematang
Siantar: Lembaga Bina Warga HKBP, 2016, 41
[47]
Tata Dasar dan Tata Laksana HKBP 2002
setelah amandemen kedua, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2015, 157
[48]
HKBP, Barita Pangulaon, Berita Pelayanan
Sekretaris Jenderal, kepala Departemen Koinonia, Marturia, dan Diakonia, Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 2008, 6
Why you should never bet on sports toto.com - Sporting 100
BalasHapusBest Betting 제주 출장마사지 Site · 서울특별 출장안마 Sportsbook. Our 익산 출장마사지 goal is to 메이저 토토 사이트 provide you the best 광양 출장마사지 odds, always the best bonuses, when the market is saturated with sports betting